Presiden Harus Pastikan Sasaran Pengampunan Pajak
Berita

Presiden Harus Pastikan Sasaran Pengampunan Pajak

Ada tiga hal mendasar.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Diskusi publik dengan tema Menakar Implementasi Tax Amnesty di Indonesia, Kamis, 9Juni 2016. Foto: Istimewa
Diskusi publik dengan tema Menakar Implementasi Tax Amnesty di Indonesia, Kamis, 9Juni 2016. Foto: Istimewa
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty masih terus dibahas oleh DPR bersama Pemerintah di tengah pro kontra yang berkembang di masyarakat. Memasuki pertengahan tahun, tak jelas kapan RUU tersebut akan disahkan, apalagi masih ada isu krusial yang mengganjal.

Agar tak terus berlarut, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo berharap Presiden Jokowi turun tangan. Presiden perlu memberikan penjelasan yang gamblang agar masyarakat merasa pasti. Masyarakat perlu diberi informasi bahwa RUU ini adalah jalan keluar mengatasi masalah perpajakan.

Yustinus berpendapat kepemimpinan Presiden penting dalam situasi pro kontra di masyarakat mengenai RUU Pengampunan Pajak. Terutama mengenai kepastian sasarannya. “Sehingga segera didapat kepastian dan di level teknisnya RUU ini segera disempurnakan. Ketika diketok langsung bisa dijalankan karena tidak ada waktu menunggu lagi, semua butuh kepastian,” kata Yustinus dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (09/6).

Yustinus bisa memahami munculnya perbedaan pendapat atas RUU Pengampunan Pajak. Kebijakan ini seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada masalah keadilan yang yang timbul jika pengampunan pajak diberikan kepada para wajib pajak yang tak mau membayar pajak. Bagaimana dengan wajib pajak yang taat dan patuh? Di sisi lain, pengampunan pajak ini menjadi cara penting yang harus diambil pemerintah.

Mengapa disebut jalan penting? Pertama, kebijakan pengampunan diyakini akan menambah jumlah WP. Kedua, dengan adanya isu pengampunan pajak, WP yang selama ini membayar pajak dengan patuh diberikan kesempatan untuk dikenai pajak lebih rendah di masa mendatang karena akan banyak WP baru yang masuk dalam sisitem perpajakan. “Selama ini cuma itu-itu aja yang dikenai pajak. Sekarang justru perluasan jumlah WP, sehingga kita mendapatkan penerimaan paling banyak,” tambahnya.

Ketiga, tanpa adanya pengampunan pajak, sektor penerimaan pajak akan mengalami stagnasi dan kemandegan, karena yang menjadi obyek pajak tak pernah berubah dan bertambah. Isu keadilan tersebut juga muncul tatkala yang terus membayar pajak hanya WP yang patuh, dna ditekan untuk membayar pajak.

Meski bukanlah menjadi jalan keluar yang ideal, namun penerapan pengampunan pajak adalah langkah yang paling mungkin dilakukan oleh pemerintah ditengah-tengah penegakan hukum yang masih lemah di Indonesia. Jika penegakan hukum di Indonesia sudah efektif, Yustinus yakin pengampunan pajak tak perlu dilakukan.

“Sebab kita belum bisa melakukan penegakan hukum yang efektif. Kalau kita harus melakukan penegakan hukum, dalam setahun hanya bisa memeriksa dua persen WP. Artinya kita tidak bisa meng-capture potensi ekonomi yang ada menjadi penerimaan pajak dan juga tidak adil karena yang diperiksa hanya dua persen, beda kalau ratio tinggi. Problem kita ada pada melakukan penegakan hukum,” jelas Yustinus.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyampaikan bahwa orientasi pemerintah dalam mencari sumber pembiayaan agak kecau, termasuk dalam konteks tax amnesty. Dalam rencana tax amnesty, lanjutnya, pemerintah justru tidak membedakan tiga hal mendasar.

Pertama, apakah pemerintah mengharapkan repatriasi dari pengampunan pajak tersebut. Kedua, apakah pemerintah mau melegalkan uang haram seperti yang pernah disampaikan Menteri Keuangan. Jika iya, Daeng mempertanyakan bagaimana caranya hal tersebut dilakukan karena tidak terlihat dalam RUU Pengampunan Pajak. Ketiga, apakah pemerintah sedang menyasar aset-aset negara yang masih bermasalah dalam konteks BLBI dan Bank Century. “Tiga hal ini sebenarnya yang menjadi ruang perdebatan. Kalau mau konkrit, pemerintah harus spesifik. Tax amnesty itu pada konteks apa,” kata Daeng.

Misalnya, lanjut Daeng, jika tax amnesty diberlakukan untuk sektor sengketa pajak yang ada saat ini, dan pihak yang bersengketa tidak mau menyelesaikan, pemerintah cukup membuka data pajak dan memberikan pengampunan pajak. Dengan syarat WP yang bersengketa harus membayar denda atau tebusan.

“Itu lebih mudah tinggal buka data pajak (sengketa pajak), tapi kalau arahnya ke repatriasi aset di luar negeri, atau legal back office, itu harus ada ruang lain untuk disentuh dan pemerintah harus merevisi UU yang lain yang tidak dibicarakan dalam tax amnesty, yakni revisi UU Devisa Bebas karena penempatan uang dari dalam negeri ke luar, sepanjang tu legal tidak ada masalah dalam UU kita,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait