Pemerintah Setuju Kriteria Pencemaran Nama Baik Lebih Terukur
Terbaru

Pemerintah Setuju Kriteria Pencemaran Nama Baik Lebih Terukur

Masa ancaman hukuman judi sabung ayam lebih tinggi daripada judi online.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Setuju Kriteria Pencemaran Nama Baik Lebih Terukur
Hukumonline
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sedang direvisi. Langkah ini ditempuh antara lain karena banyak yang mempersoalkan UU ITE dan menganggap sebagian isinya memuat pasal-pasal karet. Sudah banyak ‘korban’ berjatuhan akibat penggunaan UU ITE yang sangat lentur. Lalu, bagian-bagian mana saja yang akan diubah dari UU ITE?

Sedikit penjelasan datang dari Iswail Cawidu. Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika ini menjelaskan Pemerintah mengusulkan sejumlah substansi dimasukkan ke dalam revisi UU ITE. Antara lain, mengubah rumusan tata cara penyadapan diatur lewat Peraturan Pemerintah, diganti menjadi diatur dengan Undang-Undang. Itu berarti kelak Pemerintah dan DPR perlu membentuk UU Penyadapan.

Selain itu, Pemerintah setuju menurunkan ancaman pidana atas penghinaan atau pencemaran nama baik dari 6 tahun menjadi 4 tahun. Selama ini ancaman hukuman 6 tahun sering dipakai sebagai dalil untuk menahan orang yang dilaporkan melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pemerintah juga mengusulkan penambahan klausula pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk pada Pasal 310 dan 311 KUHP. Dengan sistem rujukan ini Pemerintah berharap kriteria penghinaan dan/atau pencemaran nama baik lebih terukur dan lebih memberikan kepastian hukum.

Ismail menegaskan Pemerintah setuju rumusan pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE diubah menjadi delik aduan seperti halnya pandangan Mahkamah Konstitusi. Penggeledahan dan penyitaan dilakukan sesuai hukum acara pidana, begitu pula dengan penangkapan dan penahanan. Terakhir, pemblokiran konten yang dianggap ilegal akan dilakukan oleh PPNS.

Itulah sebagian substansi yang diusung Pemerintah dalam proses pembahasan revisi UU ITE. Hingga kini proses pembahasan dengan DPR masih berlangsung sambil menunggu masukan dari beragam pemangku kepentingan. “Ada lebih dari 50 DIM dalam revisi UU ITE yang dibahas di DPR,” kata Ismail di Jakarta, Selasa (14/06).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, menilai secara normatif tidak ada persoalan dalam UU ITE. Namun, yang jadi kendala selama ini terkait penegakan hukumnya. Dari berbagai isu yang menyangkut ITE, salah satu yang disorot mengenai perlindungan data pribadi. Dalam praktiknya, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa menerapkannya secara berbeda.

AS lebih cenderung meminimalisasi peran negara dalam perlindungan data pribadi sedangkan negara-negara di Eropa lebih menekankan peran negara dalam melindungi data pribadi warga negaranya. Edmon berpendapat penting bagi Indonesia untuk menentukan pandangannya terkait cyber security karena ada pandangan yang menyebut itu sebagai perang dan sebagian lain menilai itu sebagai penegakan hukum.

Mengenai penyaringan yang dilakukan pemerintah terhadap situs-situs yang dinilai bermuatan negatif, Edmon berpendapat itu cara administratif yang bisa dilakukan pemerintah untuk melakukan pencegahan. Pencegahan itu bisa dilakukan tanpa perlu izin pengadilan. “Yang penting tindakan itu tidak dilakukan pemerintah secara sewenang-wenang,” tukasnya.

Peneliti senior ICJR, Anggara Suwahju, menilai pemerintah belum paham kerumitan dalam implementasi UU ITE. Diantaranya, terjadi duplikasi sanksi antara yang diatur UU ITE dengan KUHP. Padahal, KUHP dinilai masih mampu menjerat kejahatan yang sifatnya konvensional walaupun menggunakan media elektronik atau internet. “Judi di KUHP ancaman pidananya 10 tahun tapi UU ITE hanya 6 tahun. Ini artinya pelaku judi sabung ayam sanksinya lebih berat daripada judi online,” urainya.

Pemerintah mengatur pemblokiran situs yang dianggap bermuatan negatif melalui Permenkominfo No. 19 Tahun 2014. Dalam regulasi itu Pemerintah memasukan nama-nama situs yang dianggap bermuatan negatif dalam daftar hitam, kemudian mengajukan kepada perusahaan penyedia jasa internet (ISP) untuk memblokir situs tersebut. Praktiknya, ada ISP yang tidak mau memblokir situs yang bersangkutan sehingga penerapan blokir itu beragam.

Deputi Direktur Elsam, Wahyudi Djafar, mengingatkan agar mekanisme pemblokiran dilakukan secara jelas dan rinci. Harus ada prosedur yang membuka ruang untuk pengujian kembali apakah situs itu layak diblokir atau tidak. Cara itu bisa dilakukan lewat badan independen khusus atau peradilan. “Pemblokiran yang ada di Indonesia sekarang ini masih semena-mena,” paparnya.
Tags: