Revisi UU ITE Diharapkan Beri Kepastian Hukum
Berita

Revisi UU ITE Diharapkan Beri Kepastian Hukum

Pengaturan pencemaran nama baik cukup ada di dalam KUHP.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HLM
Ilustrasi: HLM
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak agar revisi UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE) dapat memberikan kepastian hukum. Sebab, selama ini ada dua pengaturan terkait dengan tindak pidana pencemaran nama baik. Dua aturan tentang pencemaran nama baik tersebut, yaitu Pasal 27 Ayat (2) UU ITE dan Pasal 310 Ayat (1) KUHP.

“Pengaturan itu dikhawatirkan justru tumpang tindih. Kedua pasal itu memiliki fungsi yang sama untuk menjerat pelaku pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial,” ujar Peneliti Elsam, Wahyudi Djafar di Jakarta, Selasa (14/6).

Menurutnya, pengaturan yang tumpang tindih itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena memungkinkan penghukuman yang berbeda jika ada dua kasus pencemaran nama baik. Sebab, dasar hukum yang digunakan berbeda.

Dia berharap, revisi UU ITE bisa memberikan kepastian hukum. Caranya, dengan menghilangkan Pasal 21 Ayat (3). Ia menegaskan, keberadaan pasal itu dikhawatirkan menghalangi esensi kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi karena dapat menimbulkan ketakutan.

“Dengan demikian tidak ada lagi korban yang berjatuhan akibat terjerat dengan UU ITE yang tidak memiliki kepastian hukum. Kami tidak ingin ada korban lebih banyak lagi,” katanya.

Seperti diketahui, Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menyebutkan sejak awal 2008-25 Desember 2015, sudah ada 134 orang yang dijerat dengan UU ITE, setiap tahunnya masyarakat yang terjerat dengan UU ITE tersebut terus-menerus mengalami peningkatan.

Pada 2008 dan 2009, hanya ada dua orang yang dijerat dengan UU ITE, lalu 2010 menurun menjadi satu orang. Namun sejak 2011 sudah ada tiga orang yang terjerat UU ITE kemudian pada 2012 meningkat menjadi sekitar tujuh orang dan pada 2013 ada sebanyak 20 orang terjerat UU ITE, selanjutnya pada 2014 ada sebanyak 41 orang dan 2015 sebanyak 60 orang yang terjerat dengan UU ITE.

Selain itu, sepanjang 2015, jumlah pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan UU ITE juga mengalami peningkatan sekitar 40% dibandingkan dengan tahun lalu. Hampir setiap bulannya, ada empat aduan yang berkaitan dengan UU ITE kepada institusi hukum dan sebesar 90% aduan, merupakan aduan yang terkait denggan pasal pencemaran nama atau defamasi.

Peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menambahkan, pengaturan mengenai pencermaran nama baik cukup diatur di dalam KUHP. Ia meyakinkan, KUHP masih dapat mengakomodasi dasar kejahatan di dunia maya. Dirinya mengingatkan, kejahatan tersebut termasuk kejahatan konvensional yang sudah dibahas oleh KUHP.

“Sedangkan di dalam UU ITE justru tidak dijelaskan secara mendetail tentang kategorisasi penghinaan. Tetapi kita belum tahu apakah nanti pembahasan revisi UU ITE ini akan menghasilkan kontradiksi atau tidak. Apakah nanti akan dibatalkan di Komisi I, kita kan belum tahu,” tambahnya.

Dia juga mengatakan perlu pengaturan tentang mekanisme penangkapan dan proses peradilan terhadap kejahatan di internet di dalam revisi UU ITE. Menurutnya, selama ini penerapan UU ITE kurang efektif dalam kasus yang terjadi di dunia maya.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail Cawidu mengungkapkan, pihaknya telah mengajukan beberapa usulan revisi UU ITE ke DPR. Menurutnya, pemerintah belum akan menghapus pasal pencemaran nama baik. Revisi yang dilakukan adalah agar ada revisi terkait ancaman pidana.

”Penjelasan Pasal 27 Ayat 3 seharusnya mengacu pada Pasal 310 dan 311 KUHP sehingga kriteria penghinaan lebih terukur dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta penegak hukum,” kata Ismail.

Tags:

Berita Terkait