Kuasa Hukum Pajak Pertanyakan Kewajiban Lapor Pengadilan
Utama

Kuasa Hukum Pajak Pertanyakan Kewajiban Lapor Pengadilan

Kewajiban menyampaikan laporan dinilai bisa diterima untuk kuasa hukum perseorangan yang bukan advokat.

Oleh:
KARTINI LARAS MAKMUR
Bacaan 2 Menit
Ketua Perhimpunan Konsultan Hukum Pajak, Juniver Girsang. Foto: NNP
Ketua Perhimpunan Konsultan Hukum Pajak, Juniver Girsang. Foto: NNP

Sejak awal 2016, kuasa hukum di pengadilan pajak diharuskan membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Pajak. Jika tidak, maka permohonan perpanjangan izin sebagai kuasa hukum akan mengalami masalah. Hal itu tertuang di dalam Surat Edaran (SE) Ketua Pengadilan Pajak No.003/PP/2015 tentang Penyampaian Laporan Pemberian Jasa Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak.

Namun, kenyataannya kuasa hukum pajak tidak mengetahui keberadaan SE tersebut. Ketua Perhimpunan Konsultan Hukum Pajak (PKHP), Juniver Girsang, mengatakan bahwa organisasinya tak pernah disosialisasikan mengenai SE itu. Bahkan, sebagai konsultan hukum pajak dirinya tak pernah ditanyakan perihal laporan yang harus dibuat.

“Saya tidak pernah tahu mengenai surat edaran itu. Kita pun beracara tidak pernah dipertanyakan mengenai laporan di pengadilan pajak,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (17/6).

Kendati belum mengetahui SE mengenai penyampaian laporan tersebut, Juniver mengatakan pihaknya akan melayangkan surat kepada Ketua Pengadilan Pajak. PKHP akan meminta penjelasan mengenai surat edaran itu. Pihaknya mempertanyakan urgensi dan filosofi diterbitkanya SE itu.

“Cukup kita beracara, yang melakukan pencatatan-pencatatan itu panitera. Saya pertanyakan apa urgensinya kuasa hukum yang memberikan laporan itu,” tandas Juniver.

Ia pun menampik bahwa laporan yang antara lain isinya informasi tentang jasa kuasa hukum, nomor sengketa, tanggal sidang, jumlah dan keterangan pemohon banding sebagai bentuk pengawasan. Menurutnya, pengawasan yang harus dilakukan adalah terkait pelanggaran oleh para konsultan hukum pajak. Artinya, jika tidak berkaitan pelanggaran yang dilakukan maka pengawasan tidak diperlukan.

Tak hanya itu, ia keberatan jika laporan menjadi dasar evaluasi perpanjangan izin. Menurutnya, tidak relevan jika evaluasi izin hanya didasarkan pada penyampaian laporan. Pasalnya, untuk memperoleh izin seorang konsultan hukum pajak harus menempuh pendidikan dan memenuhi kualifikasi tertentu.

“Ya tidak bisa dong, kalau tidak membuat laporan surat izin akan dicabut. Kan ada prosesnya untuk mendapatkan surat izin itu. Mengikuti pendidikan, memenuhi kualifikasi. Kok akhirnya dicabut hanya karena tidak membuat laporan,” ujarnya.

Juniver juga menilai SE Ketua Pengadilan Pajak sangat bias. Salah satu tujuan terbitnya SE itu disebutkan untuk meningkatkan profesionalisme. Sementara itu, menurut Juniver profesionalisme tidak bisa diukur dari laporan. Ia menjelaskan, kualifikasi seorang konsultan memiliki profesionalisme atau tidak dapat dilihat dari kepercayaan yang didapatkan dari kliennya.

“Bagaimana bisa profesionalisme dilaporkan. Kualifikasi itu dibuktikan dari kepercayaan klien. Kalau tidak berkualifikasi untuk apa dipilih,” ungkap Juniver.

Pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai SE Ketua Pengadilan Pajak itu tidak memiliki urgensi. Sebab, pengawasan terhadap para advokat sudah diatur dalam mekanisme organisasi advokat. Selain itu, menurutnya pengadilan tidak lagi berwenang mengawasi profesi advokat.

“Dulu memang sebelum ada UU Advokat, pengadilan berwenang untuk mengawasi profesi advokat. Tetapi sekarang tidak lagi, jadi tidak ada dasar bagi pengadilan untuk mengawasi advokat sekalipun yang beracara di pengadilan pajak,” katanya.

Tetapi, menurut Fickar, untuk kuasa hukum pajak perseorangan yang bukan advokat bisa saja SE itu diterima. Menurutnya, laporan dapat dianggap sebagai bagian dari pengawasan pengadilan terhadap kuasa hukum perpajakan. Selain pengawasan, laporan juga berkaitan dengan lisensi bagi kuasa hukum perseorangan yang harus mendapat izin dari ketua pengadilan pajak. Sebab, kuasa hukum di peradilan pajak memperbolehkan perseorangan yang bukan advokat untuk membela klien.

“Tapi kalau untuk advokat, ini tidak ada urgensinya. Saya takutnya justru menjadi alat supaya ada suatu hubungan-hubungan di luar proses peradilan. Bisa saja terjadi, misalnya advokat harus “setor”. Jadinya, mafia peradilan lagi. Sebab, kewenangan mengawasi itu bisa jadi alat untuk sesuatu yang negatif pada akhirnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait