Simalakama Menindak Kejahatan Korporasi
Fokus

Simalakama Menindak Kejahatan Korporasi

Revisi KUHP memuat aturan tentang tindak pidana yang dilakukan korporasi. Kebijakan investasi menjadi tantangan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Presentasi kejahatan yang dilakukan korporasi. Foto: MYS
Presentasi kejahatan yang dilakukan korporasi. Foto: MYS
Isu Panama Papers nyaris hilang dari perbincangan jagad maya. Meskipun lembaga penegak hukum dan pemerintah berjanji menelusuri kemungkinan ada penyimpangan hukum yang dilakukan perusahaan-perusahaan cangkang di negara surga pajak dan para pemiliknya, hingga kini tak ada satu perseroan pun yang diproses ke pengadilan.

Padahal, menurut dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Armansyah, terbongkarnya Panama Papers merupakan momentum yang pas untuk memberantas kejahatan yang dilakukan korporasi. Selama ini, kejahatan korporasi juga sering terjadi dan berdampak massif, misalnya di bidang lingkungan. “Dampaknya besar,” ujarnya kepada hukumonline.

Atas dasar itu pula, akhir tahun lalu, Fakultas Hukum Universitas Pancasila membuka Pusat Kajian Korporasi, sebagai respon kalangan perguruan tinggi atas maraknya kejahatan korporasi dengan modus operandi yang kian canggih. “Kualitas kejahatan terus berkembang,” kata Ade Saptomo, Dekan FH Universitas Pancasila kala pendirian Pusat Kajian Korporasi itu. “Orang berniat jahat berlindung di balik korporasi,” sambungnya.

Armansyah mengamini pandangan koleganya. Cuma, sangat disayangkan, penanganannya terbilang sedikit. Masih sedikit perkara tindak pidana korporasi yang dibawa ke pengadilan. Salah satu penyebabnya, Armansyah menduga, perbedaan pandangan aparat penegak hukum di lapagan mengenai kejahatan korporasi. Bahkan perbedaan pandangan itu juga terjadi di lingkungan akademis. “Jadi, tergantung mau ikut pandangan yang mana,” kata dia.

Kejahatan korporasi bukan isapan jempol belaka. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jember, M. Arief Amrullah  mengatakan kejahatan korporasi terjadi jika pejabat korporasi melakukan perbuatan pelanggaran hukum untuk kepentingan korporasi. Ia yakin kejahatan korporasi berakar pada kejahatan kerah putih (white collar crime). “Kejahatan korporasi adalah kejahatan white collar,” ujarnya.

Saat tampil sebagai pembicara pada Simposium Kejahatan Korporasi di Banjarmasin, Mei lalu, Prof. Arief Amrullah mencontohkan betapa dahsyatnya dampak kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Bahkan (penegakan) hukum pidana semata tak akan bisa diandalkan. “Perlu ditunjang dengan kebijakan hulunya, dalam arti kebijakan pembangunan yang berorientasi pada upaya penyelamatan sumber daya alam,” ujarnya.

Pengaturan
Indonesia punya segudang peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana oleh korporasi. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya. Para pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) terus memasukkan norma ancaman terhadap korporasi.

Masalahnya, cara perumusan tindak pidana korporasi dan mekanisme pertanggungjawaban pidananya juga tak sama. Guru Besar Hukum Pidana FH Universitas Indonesia, Topo Santoso, mengatakan ada Undang-Undang yang mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana tetapi pertanggungjawabannya hanya di pundak pengurus. Misalnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Ada pula perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Intinya, pengaturan di Indonesia belum seragam. “Belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dan konsisten,” tegas Topo dalam seminar mengenai korporasi di FH Universitas Pancasila.

RUU KUHP
Para penyusun RUU KUHP juga memasukkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan tentang siapa yang bertanggung jawab. Menurut Ketua Tim Penyusun RUU KUHP, Barda Nawawi Arief, ketentuan pertanggungjawaban korporasi pada intinya sudah disetujui Panitia Kerja DPR. Terakhir persetujuan Panja berlangsung pada akhir April lalu.

Pasal 49-50 RUU KUHP menyebutkan tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkanhubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Kemudian, Pasal 51-52 menegaskan korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang­kutan. Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepan­jang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

Pada dasarnya ancaman sanksi pidana terhadap korporasi sangat berat. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, mengancam perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha, atau perbaikan akibat tindak pidana. Namun, itu tadi, penggunaan tindak pidana korporasi di persidangan masih terhitung dengan jari.

Simalakama
Pada saat ada kecenderungan pembentuk Undang-Undang memuat tindak pidana korporasi dan ancaman yang berat, ada persoalan yang dihadapi. Penegakan hukum yang maksimal terhadap korporasi yang diduga melakukan kejahatan bisnis akan berhadapan dengan kebijakan membuka ruang investasi seluas-luasnya.

Jika semua aturan tindak pidana korporasi itu ditegakkan, dan banyak korporasi yang terjerat kasus pidana, invstor akan berpikir ulang untuk menanamkan sahamnya di Indonesia. Sebagian ahli pidana menganggap menjalankan aturan tindak pidana korporasi sepenuhnya akan kontraproduktif, karena akan menimbulkan pelarían modal (capital aoutflow yang signifikan. Di sinilah terjadi simalakama penegakan Hukum pidana terhadap korporasi yang melanggar.

Sanksi atas kejahatan sebenarnya sesuatu yang seharusnya dijalankan. Tetapi jalur  pidana adalah upaya terakhir. Tetapi jika sanksi pidana digunakan di awal dan berakibat pada penutupan perusahaan, imbasnya tak hanya capital outflow, tetapi juga kemungkinan gejolak sosial.

Prof. Romli Atmasasmita termasuk akademisi yang menyuarakan pentingnya memikirkan ulang kebijakan memenjarakan atau menjatuhkan sanksi maksimal yang berakibat pada tutupnya perusahaan. Dampak ekonomi penutupan perusahaan akan besar seperti pengangguran.  Dengan mengambil contoh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Romli menilai arah perkembangan hukum pidana, termasuk kejahatan korporasi, ke depan masih bertahan pada paham positivisme hukum dan keadilan retributif dengan tujuan penjeraan. Seharusnya, arah politik hukum pidana sudah bergerak ke paham pragmatic utilitarianism dengan pendekatan análisis ekonomi yang dapat memberikan kemanfaatan sosial terbesar bagi masyarakat Indonesia.

Dalam konteks itu, Pasal 53 RUU KUHP memberikan ‘arahan’ kepada aparat penegak hukum. Menurut pasal ini, dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana terhadap korporasi, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. Pertimbangan ini harus dimuat dalam putusan hakim.
Tags:

Berita Terkait