Mengenal Masalah Ketenagakerjaan di Industri Tambang
Berita

Mengenal Masalah Ketenagakerjaan di Industri Tambang

Karena lokasi tambang yang biasanya ada di daerah terpencil, adakalanya industri tambang adalah satu-satunya tempat yang menyerap tenaga kerja di wilayah tersebut.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Senior Corporate Counsel PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Erlangga Gaffar. Foto: RES
Senior Corporate Counsel PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Erlangga Gaffar. Foto: RES
Senior Corporate Counsel PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Erlangga Gaffar, mengatakan secara umum potensi permasalahan legal yang dihadapi adalah terkait dengan pencari kerja dan pemutusan hubungan kerja, dalam hal ini kepastian hukum jika ada ada PHK.

Erlangga menjelaskan, dalam hal pencari kerja, “scarcity rationale” berlaku yang artinya, ada keterbatasan.  Jumlah dan posisi lowongan pekerjaan terbatas, namun pelamar berlebih. Ini sebenarnya tidak hanya berlaku di Industri tambang, tapi juga industri lainnya. 

Namun karena lokasi tambang yang biasanya ada di daerah terpencil, adakalanya industri tambang adalah satu-satunya tempat yang menyerap tenaga kerja di wilayah tersebut. “Alhasil, semua akan fokus ke tambang tersebut sebagai alternatif pencaharian kerja,” ujar Erlangga.

Permasalahan lainnya, sambung Erlangga, jika ada pemutusan tenaga kerja dan ini terkait kepastian hukum. Kepastian hukum di sini menyangkut tiga hal yaitu kepastian jangka waktu penyelesaian, kepastian biaya dan kepastian outcome atau hasil akhir keputusan.

Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No.2 Tahun 2004, kurang dari enam bulan.  Ini mencakup bi-partit sampai dengan putusan Mahkamah Agung (MA).  Tapi dalam praktiknya, bisa lebih dari waktu tersebut dan bisa tidak fair untuk kedua belah pihak. 

Di satu sisi, karyawan ingin kepastian kapan bisa kembali bekerja atau kapan dapat pesangon yang sesuai. Di sisi lain, pengusaha tetap harus membayar upah proses sampai dengan proses PHI selesai. Selain itu, karena waktu penyelesaian yang lama, tentunya biaya bertambah karena ada upah proses. 

“Selanjutnya, apabila suatu peristiwa sudah jelas, hukumnya sudah jelas, sewajarnya putusan juga konsisten dengan hukum,” kata Erlangga. 

Lantas bagaimana mengatasinya? Untuk hal yang terkait dengan pencari kerja, kata Erlangga, perlu transparansi dalam proses rekrutmen.  Hal ini bisa dilakukan dengan memberi informasi yang benar kepada stakeholder dan pencari kerja tentang berapa lowongan yang tersedia, kualifikasi pelamar, serta bagaimana tahapan rekrutmen.

Selanjutnya, juga perlu koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) yang notabene adalah “wasit” terkait ketenagakerjaan. “Informasi terkait kondisi bisnis perusahaan dan informasi lowongan senantiasa kita sampaikan ke dinas tenaga kerja agar dapat menyambung informasi kepada para pencari kerja,” ujar Erlangga.

Terkait PHK, sesuai amanah UU, perlu dihindari. “Namun ketika tidak bisa dihindari, kita mau tidak mau harus ikut proses PHI,” tuturnya.

Principal advisor HR PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), Anton Sudarisman, menambahkan yang mesti diperhatikan dalam hal ketenagakerjaan adalah adanya statement di awal bahwa perusahaan sangat patuh pada hukum. Menurutnya, segala keputusan manajemen selalu ada pertimbangan hukum. 

“Soal PHK kita sangat hati-hati menerapkannya. Mulai dari mewarning secara verbal, tertulis, itu sangat hati-hati karena sudah ada prosedurnya,” kata Anton.

Tags:

Berita Terkait