Pidana Militer Tak Langgar Equality Before the Law
Seleksi Hakim Agung:

Pidana Militer Tak Langgar Equality Before the Law

Hidayat Manao, Tiarsen Buaton, Eddhi Sutarto, dan Sartono, kandidat dari kamar militer dan TUN.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Panelis seleksi CHA di Komisi Yudisial. Foto: RES
Panelis seleksi CHA di Komisi Yudisial. Foto: RES
Ada sebagian elemen masyarakat menganggap hukum acara pidana militer diskriminatif dan melanggar asas equality before the law. Sebab, perlakuan terhadap masing-masing anggota TNI yang tengah diproses hukum di pengadilan militer tidaklah sama. Misalnya, pelaku yang berpangkat, kapten, mayor, hingga jenderal proses hukumnya berbeda dengan prajurit yang berpangkat letnan ke bawah.

Pernyataan ini dilontarkan seorang Panelis saat wawancara terbuka seleksi calon hakim agung (CHA) di Komisi Yudisial (KY). Adalah Komisioner KY Joko Sasmito yang mengungkapkan pandangan demikian yang diperoleh dari pertanyaan kritis saat menerima kunjungan mahasiswa di KY. “Saat kunjungan ini, mahasiswa bertanya soal itu, apa ini tidak melanggar asasequality before the law (kesamaan di hadapan hukum, red),” ujar Joko saat melontarkan pertanyaan terhadap salah satu CHA dari kamar militer, Kol. CHK Hidayat Manao di Auditorium KY, Rabu (22/6).

Hidayat menjelaskan proses pidana militer hampir di setiap negara di dunia dibedakan. Sebab, hampir semua militer menganut sistem komando dimana unsur pimpinan adalah komandan yang berfungsi pengendali yang bertanggung jawab. Karena itu, perlakuan prajurit yang berpangkat kapten ke bawah tidak sama dengan prajurit kapten ke atas.

Dia menilai asas kesamaan di hadapan hukum itu tidak bisa dibaca secara letterlijk (kaku). Diakui sang CHA ini, semua warga negara memiliki kesamaan di hadapan hukum. “Jadi, sebenarnya proses hukum pidana militer tidak melanggar asas equality before the law,” tegasnya.

“Perlu dijelaskan kepada mahasiswa, hukum acara pidana militer memiliki kekhasan tanpa mengurangi asas equality before the law,” kata Hidayat di Tim Panel yang terdiri 7 Komisioner KY bersama mantan hakim Iskandar Kamil (militer), Hakim Agung Hary Djatmiko  (TUN/Pajak) dan tokoh Prof Frans Magnis Suseno.

Menurutnya, perlakuan proses hukum bagi prajurit TNI atas dasar kepangkatan sejatinya hanya persoalan pembedaan sistem kepangkatan. “Tetapi, yang terpenting amar putusan kita yang menjawab, apa ada pelanggaran asas itu,” kata Kadimilti Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya) ini.

Dia menambahkan hukum pidana militer (KUHPM) memang bersifat lex spesialis (khusus), seperti penggunaan senjata, melawan atau menolak perintah dinas, meninggakan pos penjagaan, pencurian, menanggalkan senjata.

Calon lainnya, Sartono lebih banyak dicecar seputar pengadilan pajak. Maklum, Sartono merupakan Hakim Pajak. Anggota Panelis menanyakan terobosan yang akan dilakukan Sartono kalau terpilih menjadi hakim agung. Sartono mengatakan misinya apabila ditetapkan menjadi hakim agung akan membuat sistem percepatan penanganan sengketa pajak di Pengadilan Pajak hingga MA.

“Hingga saat ini sejak 2009, ada sekitar 9 ribuan permohonan di Pengadilan Pajak yang akan diajukan peninjauan kembali (PK) di MA. Kita akan selesaikan perkara secepat-cepatnya. Ini masalah besar di Pengadilan Pajak. Makanya, saya akan mempercepat proses apabila terpilih menjadi hakim agung,” harapnya.

Selain Hidayat Manao dan Sartono, hari ini Panelis juga mewawancarai Eddhi Sutarto (Kabid Fasilitas Bea dan Cukai Kanwil Ditjen BC Jateng dan DIY) dan Tiarsen Buaton (Ketua Program Studi S-1 STHM Direktorat Hukum Angkatan Darat), kandidat dari kamar TUN dan militer.
Tags:

Berita Terkait