Belum Diatur Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Cerai Gugat
Seleksi Hakim Agung:

Belum Diatur Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Cerai Gugat

Sisva Yetti, Edi Riadi, dan Firdaus Muhammad Arwan kandidat dari kamar agama.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Panelis Komisi Yudisial untuk CHA 2016. Foto: RES
Panelis Komisi Yudisial untuk CHA 2016. Foto: RES
Salah seorang calon hakim agung (CHA) mengeluhkan belum diaturnya nafkah iddah dan nafkah mut’ah dalam praktik perkara perceraian yang diajukan istri (cerai gugat) baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Seharusnya, dalam kasus-kasus tertentu perlu diberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah kepada istri yang mengajukan cerai gugat.

Keluhan ini disampaikan Sisva Yetti dalam sesi wawancara terbuka seleksi CHA 2016 di Auditorium Komisi Yudisial, Kamis (23/6). Hakim Tinggi Pengadilan Tingga Agama Bandung ini mengaku belum pernah memutuskan nafkah iddah dan nafkah mut’ah dalam perkara cerai gugat. “Saya belum berani memutus nafkah iddah dan nafkah mut’ah karena belum ada aturan atau yurisprudensinya,” kata Sisva saat menjawab pertanyaan Panelis, Ahmad Kamil.

Nafkah mut’ah dan nafkah iddah hanya berlaku pada perceraian suami-istri pemeluk agama Islam yang diproses di Pengadilan Agama. Mut'ah dan iddah hanya berlaku bagi perkara permohonan talak dimana suami yang mengajukan talak terhadap istri. Sedangkan perkara gugatan cerai yang diajukan istri kepada suami, mut’ah dan iddah tidak berlaku.

Nafkah mut’ah adalah pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya. Nafkah iddah adalah nafkah yang wajib diberikan kepada istri yang ditalak dan nafkah ini berlangsung selama 3-12 bulan tergantung kondisi haid istri yang dicerai.

Dalam wawancara, Sisva juga mengaku selama menjadi hakim anggota atau ketua majelis belum pernah mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). “Seingat saya belum pernah, tetapi kalau menjadi hakim agung dan ada perbedaan pendapat dengan hakim lain, bisa saja saya ajukan dissenting opinion,” ujar Sisva Yetti saat ditanya Panelis, mantan hakim agung Ahmad Kamil.

Rasa penasaran, Kamil menilai dissenting opinion jarang sekali terjadi dalam putusan pengadilan tingkat judex factie (tingkat pertama dan banding). Lain hal, di pengadilan tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK). “Ini kenapa?”. Sisva melanjutkan hal ini disebabkan majelis hakim judex factie seringkali berusaha semaksimal mungkin untuk menyamakan persepsi dalam memutus perkara.

“Kalau hakim agung ajukan dissenting opinion sangat mungkin karena hakim agungnya memiliki landasan hukum yang berbeda dengan hakim judex factie,” kata Sisva.

Ditanya soal isu pembatasan perkara di MA, menurutnya untuk perkara agama belum perlu karena selama ini setiap perkara peradilan agama di MA dapat diselesaikan secara cepat alias tidak ada tunggakan perkara. “Menurut saya, kalau khusus perkara peradilan agama belum perlu,” katanya.

Selain Sisva Yetti, hari ini Panelis juga mewawancarai Edi Riadi (Hakim Tinggi PTA Jakarta) dan Firdaus Muhammad Arwan (Wakil Ketua PTA Jayapura). Semua kandidat berasal dari kamar agama.
Tags:

Berita Terkait