Ajaran Kausalitas Sulit dan Menantang
Berita

Ajaran Kausalitas Sulit dan Menantang

Tak perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Lebih baik dibiarkan berkembang dalam doktrin.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ahmad Sopian sedang menghadap tim penguji ujian promosi terbuka doktor di FH UI, Jum'at (24/6). Foto: MYS
Ahmad Sopian sedang menghadap tim penguji ujian promosi terbuka doktor di FH UI, Jum'at (24/6). Foto: MYS
Pidato singkat Surastini Fitriasih menjadi bagian penutup sidang promosi terbuka di Balai Sidang Djoko Soetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jum’at (24/6) siang. Ia menceritakan pengalamannya membimbing Ahmad Sofian, seorang promovendus yang hari itu mempertahankan disertasi tentang ‘Ajaran Kausalitas dalam Konteks Hukum Pidana Indonesia (Studi Terhadap Tindak Pidana yang Mengakibatkan Kematian)’.

Sebagai promotor, Surastini merasakan kesungguhan Ahmad Sofian menyelesaikan disertasi doktornya, mencari bahan ke berbagai daerah, bahkan hingga ke Maastricht University di Belanda. Semangat promovendus menggebu-gebu. Tapi yang membuat Surastini bangga adalah keberanian Sofian memasuki kajian ajaran kausalitas, salah satu topik tersulit dalam hukum pidana. Sedikit sekali akademisi yang mau mengkajinya karena minimnya literatur. Sofian berani masuk ke dunia menantang itu antara lain berkat ‘provokasi’ ahli pidana Prof. Harkristuti Harkrisnowo.

Begitulah nada ‘pujian’ Surastini kepada anak muridnya. Hari itu Ahmad Sofian berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai sangat memuaskan. Sofian berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan penguji Chairul Huda, Suhariyono AR, Mardjono Reksodiputro, Valerine JL Kriekhoff, dan Topo Santoso (co-promotor).

Sebagai aktivis yang selama ini bergelut dengan dunia anak, terakhir pada isu anak-anak yang dieksploitasi secara seksual, Sofian sebenarnya ingin mengkaji tentang masalah anak. ‘Provokasi’ Prof. Harkristutilah yang akhirnya mengubah arah penelitian pria kelahiran 29 September 1971 itu. Apalagi nyaris belum ada referensi yang fokus membahas isu ajaran kausalitas.

Ajaran kausalitas terasa sangat penting untuk mengungkap kasus pembunuhan. Dalam ilmu medis, kajian tentang kematian bisa berakhir ketika penyebabnya sudah diketahui. Tapi dalam hukum pidana, kajiannya tak berhenti di situ. Hukum pidana beranjak lagi ke pertanyaan berikutnya: perbuatan apa yang menyebabkan kematian tersebut? Dari beberapa perbuatan yang terjadi, perbuatan mana yang paling besar pengaruhnya terhadap kematian seseorang? Ajaran kausalitas adalah ilmu pengetahuan yang bisa menjembatani bagi aparat penegak hukum untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Intinya, dalam konteks penelitian Sofian, ajaran kausalitas dipergunakan dalam rangka mengetahui perbuatan apa saja yang menjadi penyebab kematian. Dalam praktik di Indonesia, jaksa dan hakim masih sering berbeda pendapat dalam menentukan hubungan sebab akibat (causal verband) suatu peristiwa pidana. Penyebabnya, kata Sofian, KUHP tidak memberikan konsepsi atau batasan tentang ajaran kausalitas. Alhasil, selama ini penentuan perbuatan pidana yang menimbulkan akibat yang dilarang masih merujuk pada berbagai ajaran kausalitas.

Menjawab pertanyaan Suhariyono AR, Sofian berpendapat lebih baik ajaran kausalitas berkembang dalam praktik, dan tak perlu dimasukkan sebagai norma dalam RUU KUHP mendatang. “Biarkan saja berkembang dalam doktrin,” ujarnya.

KUHP Indonesia juga tidak menegaskan pentingnya elemen hubungan kausal antara perbuatan dan akibat dalam suatu tindak pidana. Elemen hubungan kausal (causal connection) justru ditemukan di negara lain. Salah satu negara yang memasukkan ajaran kausalitas dalam kitab hukum pidananya adalah Kosovo. Pasal 14 KUHP Kosovo menyebutkan ‘a person is not criminally liable if there is no causal connection between the action or omission and the consequences or there is no possibility of the realization of the consequences’.

Berdasarkan penelitiannya terhadap sejumlah kasus pembunuhan, Sofian sampai pada kesimpulan bahwa jaksa atau hakim di Indonesia memiliki cara pandang yang berbeda melihat ajaran kausalitas, dan mengakuinya secara tidak konsisten. Sebagian putusan menyebutkan hubungan kausal sebagai salah satu elemen pertanggungjawaban pidana pelaku. Sebagian lagi tidak. Malahan, dalam kasus yang cenderung rumit, aparat penegak hukum tak melakukan eksplorasi lebih jauh terhadap ajaran kausalitas, sehingga analisisnya cenderung dipaksakan. Akibatnya, ‘putusan pengadilan tidak memiliki landasan doktrin kausalitas yang cukup kuat’.

Sofian mengingatkan agar aparat penegak hukum tidak mencampuradukkan ajaran kausalitas dengan logika yang dipaksakan. “Ajaran kausalitas merupakan hubungan yang logis antara perbuatan dan akibat. Ketika ajaran ini dipergunakan secara cermat dan mendalam, maka akan menemukan hubungan yang masuk akal antara perbuatan dan akibat, dan menghasilkan tanggung jawab pelaku secara proporsional,” jelas akademisi pada Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara itu.

Dan, berkat kajiannya, Sofian kini mendapat gelar doktor ilmu hukum. Ia menjadi doktor ilmu hukum ke-230 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tags:

Berita Terkait