“Sudah 13 tahun dan sudah beredar ke seluruh Indonesia. Kemenkes dan Badan POM bisa dikatakan tidak menjalankan fungsinya sesuai kapasitas yang dimilikinya,” tulis Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi dalam rilis, Selasa (28/6).
Menurut Tulus, penggunaan vaksin tidak bisa langsung oleh masyarakat, tetapi melalui institusi dan tenaga kesehatan. Dengan munculnya kasus vaksin palsu, jelas institusi kesehatan mutlak untuk dimintai pertanggungjawaban. Tulus mengatakan, hal ini juga menunjukkan adanya pengadaan barang/jasa yang tidak beres, tidak melalui proses tender yang benar dan berpotensi adanya tindakan koruptif oleh pejabat pembuat komitmen di Kemenkes.
Terkait hal ini, Tulus melalui lembaganya mendorong dan mengajak masyarakat untuk melakukan gugatan class action yang ditujukan kepada Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan institusi terkait lainnya. Ajakan YLKI ini dikhususkan bagi orang tua yang anaknya dilahirkan pada kisaran tahun 2004 ke atas. Soalnya, anak dengan kelahiran 2004 dan seterusnya berpotensi menjadi korban vaksin palsu.
“YLKI siap memfasilitasi gugatan class action tersebut, guna memberikan pelajaran kepada pemerintah karena lalai tidak melakukan pengawasan dan masyarakat menjadi korban akibat kelalaiannya itu,” kata Tulus.
Terkuaknya kasus vaksin palsu merupakan hal yang sangat tragis, mengingat praktik pemalsuan itu sudah sangat lama, yakni 13 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan oleh Kemenkes dan BPOM terhadap industri farmasi secara keseluruhan adalah lemah, bahkan teledor.
Menurut Tulus, seharusnya Kemenkes dan BPOM lebih sensitif terhadap fenomena pemalsuan produk farmasi (obat-obatan) di Indonesia yang sering terjadi. Dia mempertanyakan mengapa produk vaksin yang juga merupakan produk farmasi tidak terdeteksi, sehingga bisa berlangsung selama 13 tahun.
Dia meminta Kemenkes menjamin (melakukan audit ulang) di rumah sakit/puskesmas bahwa vaksin yang beredar saat ini adalah tidak palsu. Bahkan, Kemenkes dan BPOM seharusnya melakukan investigasi terhadap kemungkinan oknum rumah sakit/institusi kesehatan lain yang sengaja membiarkan atau bahkan bekerja sama dengan produsen vaksin palsu tersebut.
Pada Minggu, 26 Juni 2016, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan bahwa Kemenkes tengah mendata rumah sakit yang mungkin memakai vaksin palsu tersebut. Menteri Nila juga mengimbau agar para orang tua yang anaknya mendapat suntikan vaksin palsu segera mengulang pemberian vaksin yang akan disediakan secara gratis oleh pemerintah.
Terkait dengan hal itu, Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Sad Dian Utomo, menekankan setelah Kemenkes mendapatkan data rumah sakit pengguna vaksin palsu, mereka harus membuka informasi tersebut kepada publik. Soalnya, hal ini menyangkut kepentingan masyarakat luas.
“Pemerintah harus mengesampingkan kemungkinan terganggunya iklim bisnis rumah sakit yang terbukti menggunakan vaksin palsu,” kata Sad Dian.
Selain itu, dengan mentransparansikan data rumah sakit tersebut, masyarakat dapat dengan mudah mengetahui apakah anak mereka menjadi korban pemberian vaksin palsu atau tidak. Bila masyarakat mengetahui data tersebut, mereka dapat dengan segera mengambil tindakan, misalnya memvaksin ulang anak mereka agar tidak terjangkit penyakit berbahaya seperti polio, tuberculosis (TB), hepatitis, dan lainnya.