KPK Buka Opsi Sprindik Baru Kasus Hadi Poernomo
Berita

KPK Buka Opsi Sprindik Baru Kasus Hadi Poernomo

MA menjadikan putusan MK dan Perma sebagai dasar untuk menyatakan PK KPK tidak dapat diterima.

Oleh:
NOV/ANT
Bacaan 2 Menit
Hadi Poernomo (peci hitam). Foto: RES
Hadi Poernomo (peci hitam). Foto: RES
Mahkamah Agung (MA) menyatakan peninjauan kembali (PK) KPK atas putusan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO). Atas putusan tersebut, KPK membuka opsi untuk nenerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru.

Selain itu, KPK masih menunggu salinan putusan PK. "KPK belum menerima salinan putusan. Kami akan diskusikan dulu di internal mengenai hal ini. Sprindik baru, itu salah satu yang jadi opsi yang sedang dipertimbangkan," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak, Selasa (28/6).

Senada, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan pihaknya masih ingin membaca apa yang menjadi pertimbangan MA tidak menerima PK yang diajukan KPK. Terkait alasan MA yang menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sebagai dasar, KPK akan mengkaji terlebih dahulu.

"Kami belum terima putusan PK tersebut. Kami akan tentukan sikap setelah membaca putusannya. (Soal putusan MK dan Perma yang menjadi dasar) Itu salah satu yang akan kami kaji, makanya ingin baca dulu reason dari putusan itu. (Sprindik baru) Itu salah satu yang akan dipikirkan. Sabar dulu, kami belum baca putusannya," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, dahulu Hadi merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk tahun pajak 1999. Hadi ditetapkan KPK sebagai tersangka pada April 2014.

Kemudian, Hadi mengajukan praperadilan atas penetapan tersangkanya  ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Alhasil, permohonan praperadilan Hadi diterima. Dalam putusan yang dibacakan  pada 26 Mei 2015,  hakim tunggal Haswandi membatalkan penyidikan dan penyelidikan kasus dugaan korupsi yang menjerat Hadi di KPK.

KPK pun mengajukan banding. Namun, langkah KPK terhenti karena penolakan PN Jakarta Selatan. Lalu, KPK mengajukan PK dengan mendasarkan pada Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2014 yang memuat hasil rapat pleno kamar pidana MA. Dimana, terdapat pengecualian, PK terhadap praperadilan dapat diajukan jika ditemukan penyelundupan hukum.

PK praperadilan Hadi sempat "mengendap" lama di MA. Padahal, KPK telah mengajukan PK sejak 28 Juli 2015. Dalam rentang waktu sebelum keluar putusan PK, muncul putusan MK terkait uji materi Pasal 263 ayat (1) KUHAP pada 12 Mei 2016 yang dimohonkan istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra, Anna Boentaran.

MK menyatakan penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan PK karena PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Selain putusan MK, terbit pula Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan tanggal 18 April 2016. Dengan ini, MA resmi melarang PK atas putusan praperadilan.

Putusan MK dan Perma tersebut ternyata dijadikan pertimbangan oleh MA dalam memutus PK atas putusan praperadilan Hadi. Putusan itu dijatuhkan pada 16 Juni 2016 oleh hakim ketua Salman Luthan dengan anggota Sri Wahyuni dan MS Lumme. Dalam putusannya, majelis menyatakan PK KPK tidak dapat diterima atau NO.

Juru Bicara MA Suhadi menjelaskan, PK KPK tidak dapat diterima karena jaksa tidak boleh mengajukan PK berdasarkan putusan MK. "Putusan MK bisa dipakai asalkan belum putus dan ada juga surat edaran Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa praperadilan tidak boleh PK karena PK itu hanya milik terdakwa dan ahli waris," tuturnya.

Sekadar mengingatkan, saat membatalkan penyelidikan dan penyidikan kasus Hadi, hakim Haswadi yang juga ketua PN Jakarta Selatan beralasan, penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan Pasal 43 dan Pasal 46 UU No.30 Tahun KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya, baik itu Polri atau Kejaksaan.

Sementara, penyelidik dalam kasus Hadi, yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK. Dengan pertimbangan itu, Haswandi menyatakan penyidikan dan penyelidikan, serta seluruh upaya paksa, seperti penyitaan yang dilakukan KPK tidak sah.

Putusan Haswandi ini sempat menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, Haswandi dianggap tidak konsisten karena dalam beberapa perkara korupsi yang ditanganinya tidak pernah mempermasalahkan keabsahan penyelidik dan penyidik KPK. Sebut saja kasus Andi Alifian Mallarangeng dan Anaa Urbaningrum.

Haswandi yang merupakan ketua majelis perkara Andi mengakui hasil penyelidikan dan penyidikan KPK dengan menghukum mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan pada 18 Juli 2014 dalam kasus korupsi proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

Haswandi juga lah yang memvonis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.
Tags:

Berita Terkait