3 Potensi Masalah Bagi PPAT Akibat Perluasan Wilayah Kerja
Utama

3 Potensi Masalah Bagi PPAT Akibat Perluasan Wilayah Kerja

Secara teknis, PPAT akan sulit melaksanakannya baik dari segi teknis terhadap PPAT itu sendiri ataupun dalam berhubungan dengan BPN atau perpajakan.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Habib Adjie. Foto: Facebook
Habib Adjie. Foto: Facebook
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Salah satu lingkup perubahan yang diatur adalah mengenai perluasan daerah kerja bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Lewat aturan terbaru ini, wilayah kerja PPAT yang semula satu wilayah kerja kabupaten/kota, sekarang diperluas hingga satu wilayah kerja provinsi.

Notaris & PPAT senior kota Surabaya, Habib Adjie, melihat perluasan daerah kerja PPAT menjadi satu wilayah provinsi akan berpotensi menimbulkan permasalahan tersendiri bagi PPAT. Di satu sisi, memang perluasan daerah kerja akan banyak dimaknai sebagai ‘peluang baru’ bagi PPAT. Sebaliknya, Habib melihat ada permasalahan yang cukup krusial dari segi teknis yang akan dihadapi setiap PPAT dalam implementasi ketentuan tersebut.

“Saya minta kepada seluruh PPAT di Indonesia agar jangan terlalu bergembira. Dikritisi dulu saja (aturannya,-red),” ujar Habib saat dihubungi hukumonline, Kamis (14/7).

Dari catatan Habib, setidaknya ada tiga permasalahan yang mungkin dihadapi PPAT saat mencoba ‘melebarkan sayap’ ke daerah kerja lainnya dalam satu provinsi. Pertama, kesulitan saat berhubungan dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN). Misalnya, PPAT kota X ketika akan melakukan pengecekan sertifikat secara online hanya tinggal memasukan akun dan password melalui sistem database BPN di kota X.

Sebaliknya, PPAT dari kota Y tentu akan kesulitan ketika ingin melakukan pengecekan sertifikat secara online lantaran akun dan password PPAT yang bersangkutan belum terdaftar dalam database BPN di kota X. “Di Surabaya cek sertifikat bisa online, khusus dilakukan oleh PPAT yang terdaftar di BPN dan ada password-nya. Misalnya ada PPAT dari Banyuwangi, akan ada transaksi tanahnya di Surabaya, ceknya gimana?” tanya Habib.

Kedua, kesulitan yang berkaitan dengan perpajakan. Dikatakan Habib, PPAT juga akan menemui hambatan saat melakukan transaksi jual beli yang menyangkut pembayaran pajak semisal Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Belum lagi, besaran BPHTB juga ditentukan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dimana besaran NJOP bisa berbeda-beda tiap wilayahnya.

“Pajak BPHTB kan per Kota/Kabupaten. Mau ngga misalnya tanah transaksi di Surabaya tapi bayarnya misalnya di Banyuwangi? Berarti kan harus ke rekening Pemda yang bersangkutan,” kata Habib.

Ketiga, permasalahan berkaitan dengan etika. Regulasi memang membuka peluang yang sangat lebar bagi PPAT berpraktik ‘antar kota, dalam provinsi’. Secara pribadi, Habib mengingatkan agar antar PPAT dalam daerah kerja provinsi bisa berbagi satu dengan yang lainnya. Ia melihat, ada hal yang sifatnya etik ketika seorang PPAT mengambil klien hampir di setiap kota, meskipun memang itu tidak melanggar aturan tersebut.

“Lebih baik kita berbagi saja walaupun kita diberi kewenangan luas satu Provinsi. Jadi lebih ke etika larinya. Menyenangkan bisa bekerja lebih luas. Tapi perlu dikritisi dulu aturannya apakah bisa lebih baik atau malah menyulitkan ke depannya,” imbuhnya.

Untuk diketahui, Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2016 sendiri berbunyi “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi”. Dalam aturan sebelumnya, daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Namun, mengenai bagaimana teknisnya di lapangan sendiri akan diatur lebih lanjut lewat peraturan menteri.

Terpisah, Direktur Pengaturan Pemanfaatan Tanah Pemerintah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN, Aslan Noor, mengatakan bahwa sejumlah ketentuan teknis sebagaimana amanat PP Nomor 24 Tahun 2016 baru akan mulai disusun oleh pihak Kementerian ATR/BPN. Ia menegaskan, proses pembahasan dan penyusunan sejumlah aturan teknis menunggu perintah dari Menteri ATR/ Kepala BPN, Ferry Mursyidan Baldan.

“Belum ada, lagi mau disusun. Tunggu perintah menteri,” ujar Aslan lewat sambungan telepon.

Dari penelusuran hukumonline, setidaknya dibutuhkan delapan Peraturan Menteri sebagai ketentuan teknis. Kedelapan peraturan itu terkait, syarat diangkat menjadi PPAT (Pasal 6), perpanjangan masa jabatan dan pengangkatan kembali PPAT (Pasal 8), tata cara perpindahan PPAT (Pasal 9), tata cara pemberhentian PPAT (Pasal 10), daerah kerja PPAT (Pasal 12), syarat dan tata cara permohonan perpindahan tempat kedudukan atau daerah kerja (Pasal 13), sanksi administrasi (Pasal 32), dan tata cara pembinaan dan pengawasan oleh menteri (Pasal 33).

Habib berpendapat mestinya tidak perlu dibuat sebanyak itu terkait aturan teknis dari PP Nomor 24 Tahun 2016. Ia menyarankan setidaknya cukup dibuat dalam satu peraturan dari delapan amanat pembentukan peraturan menteri tersebut. Bagi Habib, ketentuan yang masih memberi mandat berupa aturan teknis lewat peraturan menteri bak ‘pasal keranjang sampah’. “Itu istilah saya sendiri,” singkatnya.
Tags:

Berita Terkait