Apakah Singapura Telah Melanggar Kedaulatan Indonesia?
Kolom

Apakah Singapura Telah Melanggar Kedaulatan Indonesia?

Penerapan Transboundary Haze Pollution Act (THPA) oleh Singapura telah menimbulkan polemik tentang apakah pembentukan Undang-Undang Anti-Asap tersebut telah melanggar kedaulatan nasional.

Bacaan 2 Menit
Abdulkadir Jailani. Foto: KOLEKSI PRIBADI
Abdulkadir Jailani. Foto: KOLEKSI PRIBADI
Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini akan secara ringkas menyajikan analisis teknis hukum mengenai aspek hukum internasional THPA serta keterkaitannnya dengan kedaulatan Indonesia secara obyektif.

Tulisan ini pada pokoknya menyimpulkan bahwa tidak ada ketentuan hukum internasional yang melarang Singapura untuk membentuk THPA. Selain itu, tulisan ini juga secara khusus menggarisbawahi bahwa penerapan THPA tetap dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum internasional dan tetap harus menghormati kedaulatan Indonesia.

Sebagaimana diketahui, pembentukan THPA didorong oleh semakin meluasnya pembakaran hutan di Indonesia yang mengakibatkan bencana asap di wilayah Singapura. Terus berlanjutnya bencana asap tersebut dan kegagalan penegakan hukum di Indonesia terhadap tindakan pembakaran tersebut mendorong Singapura untuk bersikap dengan menggunakan pendekatan yang “luar biasa”.

Melalui THPA, Singapura menerapkan prinsip extraterritorial jurisdiction (EJ), yaitu penerapan hukum pidana Singapura terhadap seseorang atau perusahaan yang terlibat pembakaran hutan di wilayah negara lain (Indonesia) dan menimbulkan bencana asap di negeri Singa tersebut.

Implementasi  THPA akhir-akhir ini telah menimbulkan sentimen negatif karena seolah-olah Singapura telah melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Sentimen tersebut muncul karena kegagalan memahami konsep EJ secara komprehensif, terutama kerancuan dalam memahami aspek legislative jurisdiction dan legal enforcement jurisdiction dalam penerapan THPA. Pemahaman mengenai pembedaan kedua aspek tersebut merupakan salah satu isu paling krusial dalam memahami prinsip EJ dalam berbagai literatur hukum internasional.

Aspek Legislative Jurisdiction
Salah satu persoalan terpenting dalam hal ini adalah aspek legislative jurisdiction, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh Singapura untuk membentuk suatu undang-undang yang menerapkan prinsip EJ terhadap pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia dan menimbulkan bencana asap di Singapura. Meskipun tidak ada traktat internasional yang secara khusus memberikan kewenangan tersebut, hukum internasional memperkenankan Singapura untuk menerapkan prinsip EJ dalam THPA.

Kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip Lotus Case 1927 yang diteguhkan dalam putusan-putusan International Court of Justice selanjutnya. Mahkamah Internasional mengedepankan presumption of permissibility, yaitu negara memiliki kebebasan yang cukup luas (wide measure of discretion) untuk menerapkan prinsip EJ, kecuali apabila terdapat aturan hukum internasional yang secara tegas melarangnya. 

Oleh karena itu, penerapan prinsip EJ menjadi suatu praktik yang lumrah dilakukan oleh negara-negara. Disamping semakin banyak negara yang menerapkannya, ruang lingkupnya juga berkembang semakin luas dan variatif. Dewasa ini, prinsip EJ umumnya diterapkan terhadap  berbagai tindak pidana antara lain yang terkait dengan hukum persaingan usaha, HAM, terorisme, penyelundupan manusia, korupsi, cybercrime, dan lingkungan hidup.

Pasal 4 KUHP Indonesia sejak dahulu telah menerapkan prinsip EJ terhadap tindak pidana uang yang menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara, mata uang rupiah dan surat berharga. Dalam perkembangan, Indonesia melalui Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga menerapkan prinsip EJ terhadap penyalahgunaan internet yang dilakukan di luar negeri serta menimbulkan akibat hukum atau mempengaruhi kepentingan Indonesia.

Penerapan prinsip EJ juga merupakan praktik yang lazim dalam konteks hukum lingkungan hidup. Sebelum pemberlakuan THPA, Amerika Serikat juga telah membentuk National Environmental Policy Act, dan Uni Eropa telah mengeluarkan Directives on Emission Trading Scheme yang semuanya memungkinkan penerapan prinsip EJ terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

Aspek Legal Enforcement Jurisdiction
Meskipun tidak ada ketentuan hukum internasional yang melarang atau menghalangi Singapura untuk membentuk THPA,  penerapan Undang-Undang Anti Asap tersebut tetap harus dilakukan dalam koridor hukum internasional dan dibatasi oleh kedaulatan negara lain. Mengingat THPA hanya memiliki legal effect sebatas wilayah Singapura, Undang-Undang tersebut tidak memberi kewenangan aparat hukum Singapura untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum di wilayah Indonesia. Oleh karenanya, penerapan THPA harus tetap memperhatikan yurisdiksi negara lain dan memerlukan kerjasama dengan negara tersebut.

Penerapan THPA secara efektif tentunya hanya dapat terwujud melalui bantuan yang diberikan oleh Indonesia melalui mekanisme ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty. Bahkan dalam keadaan tertentu Singapura akan memerlukan bantuan melalui kerjasama ektradisi untuk membawa pelaku dari Indonesia ke Singapura. Keniscayaan untuk melakukan kerjasama di bidang penegakan hukum tersebut menunjukkan bahwa implementasi prinsip EJ dalam THPA dapat dilakukan tanpa melanggar kedaulatan nasional.

Satu persoalan teknis yang juga perlu diperhatikan dalam penegakan hukum THPA adalah concurrent jurisdiction, yaitu negara yang memiliki yurisdiksi tindakan pembakaran hutan tersebut tidak hanya Singapura melainkan juga Indonesia (bahkan Malaysia juga mungkin dapat menerapkan yurisdiksinya). Sejauh ini, hukum internasional tidak menetapkan hierarki dalam yurisdiksi yang berbeda tersebut, sehingga dalam praktik, persoalan concurent jurisdtion lazimnya diselesaikan melalui mekanisme dialog atau penyelesaian politis antar negara dengan memperhatikan Discretionary Doctrines.

Berdasarkan doktrin tersebut, negara–negara terkait harus mempertimbangkan Comity Principle dan Reasonableness Principle. Meskipun Discretionary Doctrine tidak mengikat, doktrin tersebut telah terbukti cukup memadai untuk digunakan sebagai panduan praktis bagi negara dalam menyelesaikan persoalan praktis dimaksud.

Sejalan dengan Comity Principle, Singapura dapat secara sukarela mengutamakan yurisdiksi Indonesia untuk mengadili tindak pidana pembakaran hutan tersebut sebagai wujud penghormatannya terhadap kedaulatan nasional. Singapura sangat mungkin akan mengambil sikap tersebut sepanjang semua pelaku pembakaran hutan yang menimbulkan polusi asap di Singapura diadili dan dihukum berdasarkan hukum Indonesia.

Langkah tersebut di atas sangat mungkin dilakukan oleh Singapura dengan mempertimbangkan Reasonableness Principle. Berdasarkan prinsip ini, Singapura akan mempertimbangkan berbagai aspek praktis, misalnya aspek locus delicti, kewarganegaraan pelaku, ketersediaan barang bukti/saksi, kepentingan Singapura untuk mengadili tindakan pembakaran hutan tersebut serta pertimbangan-pertimbangan praktis lainnya.

Persoalan  concurrent jurisdiction merupakan hal yang lazim dan tidak hanya terjadi pada proses hukum yang berkaitan dengan prinsip EJ. Dalam era globalisasi seperti saat ini, concurrent jurisdiction merupakan persoalan yang dapat dihadapi dalam penegakan hukum semua perkara pidana terlepas keterkaitannya dengan prinsip EJ. Oleh karena itu, persoalan concurrent jurisdiction  tidak dapat dijadikan alasan untuk menegasikan penerapan EJ dalam THPA.

Kesimpulan
Sejauh ini tidak ada ketentuan hukum internasional yang menghalangi Singapura untuk menerapkan prinsip EJ terhadap tindak pidana pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia dan menimbulkan bencana asap di Singapura. Meskipun demikian, penerapan THPA tetap harus dilakukan dalam koridor hukum internasional dan menghormati kedaulatan nasional. Oleh karenanya, langkah–langkah penegakan hukum oleh Singapura tersebut akan tetap memerlukan kerjasama hukum dengan Indonesia (mutual legal assistance dan ekstradisi).

Berdasarkan Discretionary Doctrine, Singapura dapat saja secara sukarela membatasi penerapan THPA tersebut sepanjang Indonesia dapat menunjukkan tindakan nyata untuk mengambil tindakan tegas dengan mengadili serta menghukum semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana pembakaran hutan tersebut. Dengan demikian, tantangan utama yang  sebenarnya dihadapi oleh Indonesia sebenarnya bukan penerapan EJ oleh Singapura, melainkan menjamin kewibawaan hukum nasional dalam menghadapi semakin maraknya pembakaran hutan yang menimbulkan bencana asap di dalam maupun luar negeri.

-----------------
*) Penulis adalah pengamat isu-isu internasional. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.
Tags:

Berita Terkait