UU PPN Dinilai Tidak Berkeadilan
Berita

UU PPN Dinilai Tidak Berkeadilan

Seorang ahli pajak meminta materi muatan UU PPN diperbaiki.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pedagang dan kebutuhan pokok di suatu pasar. Foto: MYS
Pedagang dan kebutuhan pokok di suatu pasar. Foto: MYS
Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menilai secara umum UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) tidaklah berkeadilan bagi masyarakat. Termasuk materi  muatan Pasal 4A ayat (2) huruf b yang membatasi hanya 11 komoditas pangan.

“Karakteristik UU PPN bersifat regresif ini, yang tidak membedakan daya beli masyarakat bawah dan masyarakat berpenghasilan tinggi berpotensi menciderai rasa keadilan. Termasuk Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini mengabaikan hak masyarakat banyak mendapatkan harga pangan murah karena hanya membatasi 11 pangan,” ujar Yustinus saat menjadi ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU PPN di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (18/7).

Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN menyebutkan “Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut : b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.” Penjelasan pasal ini menyebutkan barang kebutuhan pokok meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan; dan sayur-sayuran.

Sebelumnya, Dolly Hutari selaku konsumen komoditas pangan dan Sutejo selaku pedagang komoditas pangan skala kecil pasar tradisonal mempersoalkan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN berikut penjelasannya. Keduanya protes lantaran hanya 11 komoditas pangan tersebut yang bebas PPN. Padahal, masih banyak bahan pangan lain yang termasuk kebutuhan pokok yang semestinya bebas PPN, seperti kacang-kacangan (kacang merah, tanah, hijau), singkong, kentang, terigu, talas, ubi, rempah-rempah, bumbu-bumbu dapur.

Pemohon menganggap dikenakan PPN atas komoditas pangan kaya energi dan gizi tersebut berakibat harganya lebih mahal di pasaran, sehingga terjadi penurunan kemampuan daya beli dan konsumsi atas komoditas tersebut. Apalagi, tidak seluruh penduduk Indonesia makanan pokoknya nasi/beras. Kebijakan ini kontraproduktif dengan Program Ketahanan Pangan Lokal Non-Beras yang dicanangkan Pemerintah.

Dalam petitumnya, Pemohon Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN terutama frasa “Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak” juga meliputi barang pangan hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan dan air yang diambil langsung dari sumbernya atau diolah sebatas kegiatan pasca panen dan bukan hasil proses pengolahan (industri) seperti dimaksud pengertian “menghasilkan” dalam Pasal 1 angka 16 UU ini, tidak dikenai PPN.”

Yustinus menerangkan pada hakikatnya pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung konsumen. Itu berarti menjadi beban masyarakat banyak termasuk pengusaha kecil. Dia menilai pengaturan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN berikut penjelasanya potensial mendistorsi rasa keadilan, mendiskriminasi, dan menurunkan daya saing Indonesia di negara-negara Asia Tenggara.

Dia membandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang membebaskan PPN terhadap barang kebutuhan pokok hasil pertanian. Maroko, India, Ghana juga membebaskan PPN terhadap semua barang kebutuhan pangan. Inggris, Uganda, Afrika Selatan, Meksiko menerapkan tarif 0 persen terhadap semua barang kebutuhan pangan, kecuali yogurt dan juice buah.

Ahli yang diajukan Pemohon ini mencontohkan pengenaan PPN terhadap produk pangan berupa ubi dan beras tidak dikenakan PPN akan ada perbedaan harga di pasaran. Misalnya, ubi yang dibeli dari petani ada selisih pertambahan nilai jual ketika dibeli konsumen. Berbeda dengan beras yang dibebaskan dari PPN, harga jual awal hingga dibeli konsumen tetap, yang ditanggung konsumen hanya margin laba yang diambil pedagang. “Harga ikan bagi konsumen akan lebih mahal ketimbang daging karena ikan dikenakan PPN,” lanjutnya.

Dia memaparkan hingga kini perpajakan nasional masih mengandalkan sumber penerimaan negara dari PPN yang dikenakan masyarakat konsumen yang sifatnya regresif. Misalnya, penerimaan PPN mencapai 359 triliun jauh diatas penerimaan PPh pribadi karyawan sebesar Rp105 triliun dan nonkaryawan yang hanya Rp 6 triliun. “Jadi, orang kaya Indonesia hanya menyumbang pajak Rp6 triliun jauh yang disumbangkan karyawan dan PPN,” ungkapnya.

“Mengapa pemerintah dan DPR tidak mengecualikan pengenaan PPN terhadap beberapa kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak (di luar 11 komoditas pangan, red)?”

Ironisnya, UU PPN dengan mudah memberi pengecualian PPN terhadap hasil barang pengeboran (pertambangan) yang diambil dari sumber. Komoditas fashion mewah yang sifatnya sangat tersier justru dibebaskan dari pengenaan PPNBM. Seperti, dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 106 Tahun 2015  mengenai jenis barang kena pajak barang mewah, Pemerintah membebaskan PPNBM terhadap mebel mewah, elektronik, dan tas.
Tags:

Berita Terkait