Kinerja Dibanding-bandingkan dengan KPK, Ini Curhat Kajati Jawa Barat
Berita

Kinerja Dibanding-bandingkan dengan KPK, Ini Curhat Kajati Jawa Barat

“Alangkah lebih baik jika ketiga institusi (Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK) saling bahu membahu. Koruptor saja bahu-membahu, masa institusi penegak hukum tidak”.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Feri Wibisono. Foto: kejati-jabar.go.id
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Feri Wibisono. Foto: kejati-jabar.go.id
Hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini masih diskriminatif bagi penegak hukum. Hal ini bisa dilihat dari adanya perbedaan perlakuan dalam melaksanakan tugas menegakan hukum. Hal ini menjadi salah satu masalah bagi kejaksaan dalam mencapai harapan publik. Demikian diungkapkan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat, Feri Wibisono, dalam Seminar Hari Bhakti Adhyaksa di Jakarta, Selasa (19/7).

“Seharusnya peraturan bersifat non-diskriminatif. Sekarang kenyataannya, dalam melakukan tugas KPK tidak perlu izin sementara jaksa harus izin. Misalnya, terkait dengan penggeledahan. Kemudian, pencekalan KPK lebih longgar sementara bagi jaksa harus ada penetapan status,” ujarnya.

Menurut Feri, jika kejaksaan mendapat hak yang sama dalam menegakan hukum maka kinerja yang dilakukan bisa optimal. Sayangnya, Feri menyadari bahwa diskriminasi semacam itu legal. Pasalnya, undang-undang mengatur bahwa diskriminasi kewenangan diperbolehkan asal hal itu diatur di dalam undang-undang.

Sehingga, Feri menilai secara formil tidak ada masalah dengan adanya perbedaan prosedur bagi kedua institusi penegak hukum itu dalam menjalankan tugas. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa selama ini gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas penegak hukum selalu kalah.

Hanya saja, menurut Feri, secara material diskriminasi yang ada tetap menjadi masalah. Sebab, ada rasa tidak adil yang timbul. Dalam perspektif hak asasi manusia pun, Feri melihat hal itu tidak adil. “Dari sisi formal tidak ada masalah. Tetapi dari sisi material tidak adil. Buat hak asasi manusia, itu tidak adil,” tandasnya.

Oleh karena itu, Feri mengatakan tidak pas jika KPK dibanding-bandingkan dengan kejaksaan. Ia mengilustrasikan bahwa KPK seperti mobil baru dengan beberapa perangkat pewangi. Sementara itu, kejaksaan merupakan sebuah kapal besar yang sudah tua. Tingkat pengelolaan kejaksaan jauh lebih sulit.

“Jauh lebih besar dan lebih sulit, karena diversifikasinya jauh lebih banyak. Diversifikasi kewenangan memperbesar diversifikasi penyimpangan. Tetapi tidak bisa kita tunggu-tungguan dalam mereformasi diri. Kan tidak mungkin membawa penegakan hukum yang baik jika berjalan sendiri-sendiri,” ungkapnya.

Masalah diversifikasi kewenangan yang ada di kejaksaan, menurut Feri juga menjadi pekerjaan rumah bagi kejaksaan untuk segera dibenahi. Menurutnya, kejaksaan harus mau terbuka untuk membenahi struktur. Ia membandingkan dengan negara Belanda yang sukses mereformasi institusi kejaksaan melalui proses restrukturisasi. Namun, Belanda membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Mereka membutuhkan waktu terpecah menjadi empat periode. Mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan pengawasan,” katanya.

Selain itu, jaminan independensi kejaksaan dalam melakukan penegakan hukum juga perlu dipertegas. Ia menyampaikan, tak masalah jika kejaksaan masuk menjadi bagian eksekutif. Hanya saja, perlu ada klausul yang tegas di dalam konstitusi bahwa institusi kejaksaan tidak bisa diintervensi.

“Penentuan terkait independensi dalam penanganan perkara pidana harus muncul di dalam konstitusi. Jadi, kejaksaan tidak boleh diintervensi oleh siapapun,” tegasnya.

Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengaku pihaknya menempatkan diri sebagai mitra kritis bagi KPK maupun jaksa dan polisi. Pihaknya telah memperjuangkan agar jaksa dan polisi memiliki keleluasaan dalam melaksanakan tugas.

Misalnya, mengajukan judicial review UU No.23 Tahun 2014 yang membatasi proses pemeriksaan kepala daerah agar jaksa maupun polisi harus memiliki izin jika memproses kepada daerah. Di sisi lain, KPK tidak memerlukan izin. Akhirnya, MK mengabulkan bahwa dalam melakukan penggeledahan, jaksa dan polisi tidak memerlukan izin. Tetapi, terkait penahanan masih harus mendapatkan izin.

Emerson mengingatkan, penegakan hukum tekait korupsi tidak bisa hanya diletakan secara tunggal kepada KPK. Ia mengakui, dari sisi keuangan KPK mungkin lebih baik dibandingkan kejaksaan dan kepolisian. Tetapi dari sisi sumber daya manusia, KPK memiliki keterbatasan untuk menjangkau seluruh daerah yang ada di Indonesia.

“Alangkah lebih baik jika ketiga institusi (Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK) saling bahu membahu. Koruptor saja bahu-membahu, masa institusi penegak hukum tidak,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait