Mau Jadi Lawyer Pemerintah ke Arbitrase Internasional? Simak Syaratnya
Utama

Mau Jadi Lawyer Pemerintah ke Arbitrase Internasional? Simak Syaratnya

Pengadaan konsultan hukum dalam perkara gugatan perusahaan tambang asal India ke arbitrase internasional bisa dijadikan rujukan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Salah satu acara diskusi mengenai arbitrase yang diselenggarakan hukumonline. Foto: PROJECT
Salah satu acara diskusi mengenai arbitrase yang diselenggarakan hukumonline. Foto: PROJECT
Pemerintah diketahui sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelesaian Sengketa Investasi. Salah satu forum penyelesaian yang diatur adalah arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis, khususnya sengketa investasi, melalui arbitrase sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Selama ini Pemerintah sudah berkali-kali menghadapi gugatan dari perusahaan melalui arbitrase internasional.

Salah satu hal krusial penanganan sengketa di arbitrase internasional adalah pengadaan konsultan hukum independen yang akan membantu Pemerintah. Pemerintah menyediakan tim hukum lintas lembaga. Selain pengacara negara, Pemerintah berusaha menyediakan konsultan hukum independen. Langkah taktis ini, misalnya, ditempuh Pemerintah menghadapi gugatan Indian Metals & Ferro Alloys Limited, perusahaan tambang asal India.

Beleid Pemerintah dalam kasus gugatan Indian Metals ini bisa dijadikan rujukan untuk melihat syarat-syarat yang harus dipenuhi kantor hukum Indonesia agar bisa menjadi lawyer Pemerintah ke arbitrase internasional. Ada dua beleid yang dikeluarkan yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2016 tentang Tim Penanganan Gugatan Arbitrase Internasional yang Diajukan oleh Indian Metals & Ferro Alloys Limited, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 61/PMK.01/2016  tentang Tata Cara Pengadaan Konsultan Hukum Dalam Rangka Penanganan Gugatan Arbitrase Internasional yang Diajukan oleh Indian Metals & Ferro Alloys Limited.

Melalui kedua beleid ini Pemerintah mengatur pembentukan tim penanganan di lingkungan instansi Pemerintah. Kejaksaan ditunjuk sebagai koordinator tim penanganan. Maksudnya, Kejaksaan Agung menjadi pengendali teknis yang mengkoordinasi rapat teknis untuk menetapkan konsultan hukum yang akan diundang sebagai calon peserta seleksi. Diatur pula syarat dan mekanisme yang harus ditempuh lawfirm jika ingin menjadi konsultan hukum pemerintah.

Kalau dirinci, ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, calon harus merupakan kantor hukum berbadan hukum Indonesia. Kedua, kantor hukum Indonesia itu punya afiliasi dengan kantor hukum asing. Dalam PMK, kedua syarat ini digabung menjadi satu. Ketiga, bebas dari benturan kepentingan dengan Pemerintah Indonesia. Tidak dijelaskan apakah negara afiliasi itu terbatas pada negara domisili perusahaan yang menyeret Indonesia ke arbitrase internasional. Tidak dijelaskan pula secara detik maksud ‘benturan kepentingan’ dengan Pemerintah Indonesia dalam PMK tersebut.

Pengadaan konsultan hukum Pemerintah itu dilakukan melalui seleksi. Artinya, lawfirm yang memenuhi syarat masih harus mengikuti seleksi yang dibagi-bagi dalam tahapan. Dimulai dari penyampaian surat permintaan proposal (request for proposal) kepada konsultan hukum calon peserta seleksi. Selanjutnya, penerimaan dan penelitian dokumen proposal (proposal teknis dan proposal keuangan) dari konsultan hukum calon peserta seleksi; pemilihan konsultan hukum untuk ikut tahap presentasi (beauty contest); pelaksanaan presentasi dan penilaian; pemeringkatan atas hasil presentasi dan penilaian; dan penetapan dan penunjukan konsultan hukum terpilih.

Bagaimana dengan honorarium konsultan hukum yang ditunjuk? Pasal 11 PMK No. 61 Tahun 2016 menyebutkan pembayaran jasa hukum (lawyer fee) dan hal lain yang bersifat administratif dituangkan dalam perjanjian kerja antara konsultan hukum terpilih dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Tentu saja, di luar persyaratan dan mekanisme pengadaan konsultan hukum itu, ada tips tertentu yang harus dimiliki pengacara Indonesia untuk menghadapi lawyer asing di forum arbitrase internasional.

Indian Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA) membawa Indonesia ke arbitrase internasional pada September tahun lalu. Perusahaan asal India ini menggugat setelah tidak bisa berproduksi akibat tumpang tindih penggunaan lahan dengan beberapa Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perusahaan yang berdiri sejak 1961 itu menuntut ganti rugi sebesar Rp7,7 triliun (setara dengan AS$581 juta).

Dalam rangka menghadapi gugatan itulah Pemerintah menerbitkan Perpres No. 17 Tahun 2016 dan PMK No. 61 Tahun 2016.
Tags:

Berita Terkait