Kisah Perjuangan Seorang Anak Terhadap Ketidakadilan
Hari Anak Nasional:

Kisah Perjuangan Seorang Anak Terhadap Ketidakadilan

Kisah Koko menjadi inspirasi anak-anak lain yang mengalami serupa, bahkan ada yang berhasil memenangkan gugatan perdata melawan Kepolisian.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Senin, 8 Juni 2009 menjadi hari kelam bagi SR (15 tahun) alias Koko beserta keluarga. Betapa tidak, kala itu Koko harus ‘terpisah’ dari keluarganya. Koko ditangkap aparat Kepolisian Sektor (Polsek) Bojong Gede, Bogor, lantaran dituduh telah mencuri laptop, kamera dan ponsel milik seorang warga. Di hari yang sama, Koko langsung ditahan. Kepolisian turut menyita audio amplifier milik Koko.

Kejadian ini menjadi pembuka pintu masa-masa kelam Koko selama beberapa waktu ke depan. Dalam ruang tahanan, Koko yang masih anak-anak itu dicampur dengan tahanan lainnya yang telah dewasa. Saat Ibunda Koko, Lina, menjenguk di tahanan, pengakuan miris keluar dari mulut sang buah hati. Koko mengaku telah disiksa oleh oknum anggota polisi.

Lina geram. Akhirnya, ia mendatangi kantor LBH Jakarta dan menceritakan apa yang telah dialami anaknya. Faktanya, Koko jelas bukan anak yang mencuri barang yang dituduhkan sebelumnya. Beberapa hari setelah Koko ditahan, polisi sebenarnya telah berhasil mengungkap dan menangkap pencuri yang sebenarnya. Bahkan, si pencuri tersebut juga telah mengakui bahwa Koko tidak ada kaitannya sekali dengan pencurian yang dilakukannya. Lantas mengapa Koko tetap ditahan?

Tak cuma tetap ditahan, perkara Koko malah naik ke penuntutan dan disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong. Pada akhirnya, dewi fortuna berpihak pada Koko melalui putusan PN Cibinong No. 2101/Pid.B/2009/PN.CBN pada 10 Agustus 2009. Hakim membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dan meminta agar memulihkan hak-hak terdakwa secara kedudukan, harkat, serta martabat. (Baca juga: Dilema Anak Berhadapan Hukum dengan Penerapan UU SPPA)

Suka cita ini tak berlaku lama. Singkat cerita, jaksa pada Kejaksaan (Kejari) Cibinong mengajukan kasasi atas perkara Koko. Kekhawatiran kembali menyelimuti sang bunda. Namun, pada 20 Januari 2010 majelis hakim agung menolak kasasi tersebut. Namun perjuangan ini belum berakhir.

Tindakan penyiksaan yang dilakukan oknum polisi selama di tahanan, membuat keluarga ingin menuntaskan kasus hingga ke jalur perdata. Tujuannya, agar Polsek Bojong Gede bertanggung jawab dan meminta maaf atas pemukulan hingga pelecehan seperti menyuruh Koko untuk menggigit sandal.

Tindakan sewenang-wenang ini tak hanya dilakukan oleh oknum polisi. Keluarga Koko tak cuma menggugat Polsek Bojong Gede saja, tapi Kejari Cibinong atas perlakuan hukum yang tidak mengacu pada aturan semestinya. Keluarga beserta tim kuasa hukum menilai, penanganan perkara Koko yang disamakan dengan orang dewasa serta hak-hak yang dilanggar menjadi pemicu gugatan.

Merujuk kepada regulasi, anak di bawah 18 tahun mestinya didampingi oleh orang tua ataupun wali selama pemeriksaan berlangsung. Tak cuma pendampingan dari orang tua, Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang harus mendampingi malah baru muncul dua hari kemudian setelah pemeriksaan usai.

Ditinjau dari UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), jelas terlihat banyak prosedur hukum yang cacat ditambah proses pembuktian yang mengarah pada suatu rekayasa menambah keyakinan secara yuridis dan substansi gugatan perdata yang akan dilayangkan kepada PN Cibinong. Keluarga korban melalui kuasa hukumnya, pengacara publik pada LBH Jakarta resmi mendaftarkan gugatan tersebut pada 29 Februari 2012. Menariknya, gugatan tersebut merupakan gugatan perdata yang pertama kali dimana pihak polisi menjadi pihak Tergugat.

Memasuki jadwal persidangan, agaknya menjadi tantangan baru yang dihadapi bukan lagi oleh korban melainkan turut melibatkan keluarga besar korban. Memasuki tahap mediasi, mulai muncul upaya intervensi dari polisi yang mana saat itu sudah diambil alih oleh Biro Hukum Polda Metro Jaya agar gugatan perdata itu dicabut oleh keluarga korban. Meski intervensi dilakukan secara ‘halus’, namun bagi keluarga korban tekanan itu cukup mempengaruhi mental mereka.

Proses mediasi tak membuahkan hasil. Persidangan kembali dilanjutkan untuk agenda persidangan secara umum. Menurut kuasa hukum keluarga korban, Maruli Tua Rajagukguk (saat itu masih pengacara publik di LBH Jakarta), berbagai upaya intevensi masih terus coba dilakukan dalam persidangan. Misalnya, adanya pengerahan puluhan polisi baik yang berseragam lengkap ataupun yang berpakaian ‘preman’.

Ruang sidang pengadilan PN Cibinong selalu penuh berjejal anggota polisi sembari mengawal proses persidangan. Tak cuma memenuhi bangku pengunjung sidang, bangku tempat Tergugat dan kuasa hukum juga selalu dipenuhi oleh Biro Hukum Polda Metro Jaya pada setiap agenda persidangan.

Secara psikologis, kondisi yang terjadi di ruang persidangan sangat mengganggu keluarga korban. Saat itu, Maruli ingat mental Koko dan keluarganya sangat down. Ditambah lagi agenda persidangan yang berlarut-larut semakin menambah beban bagi Koko dan keluarganya. Persidangan perdata ini harus menelan waktu yang tak sebentar. Pada saat sidang bermuara, dewi fortuna tak lagi berpihak kepada Koko dan keluarga.

Majelis hakim pada PN Cibinong melalui putusan No. 36/Pdt.G/2012/PN.Cbn dalam pertimbangannya menolak gugatan lantaran menilai Penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya. Salah satu poin pertimbangan hakim adalah tidak adanya surat keterangan pemeriksaan visum et repertum yang menunjukkan kondisi korban saat tindakan kesewenang-wenangan polisi dalam pemeriksaan pidana sebelumnya.

Terlepas dari pertimbangan hakim, lanjut Maruli, kasus tersebut jelas menunjukkan bahwa dugaan perkara pidana anak sangat rentan sekali diperiksa tanpa memperhatikan prosedur dalam SPPA. Padahal UU SPPA memposisikan anak bukan sebagai pelaku melainkan sebagai korban saat berhadapan dengan hukum.

Selain itu, prinsip yang dianut dalam UU SPPA adalah keadilan restoratif. Dimana penyelesaian perkara tindak pidana dilakukan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menjadi penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada kedaan semula, bukan pembalasan.

“Kita ingin mendobrak itu supaya korban yang lain berani bersuara dan menggugat kepolisian bahwa mereka punya hak untuk menggugat pihak kepolisian dan punya legal standingnya,” sebut Maruli kepada hukumonline.

Estafet Perjuangan
Kisah Koko dan keluarga ini menjadi inspirasi bagi anak lain yang mengalami kejadian serupa. Seperti yang dialami Erik Alamsyah di Padang, Sumatera Barat. Melalui PN Bukittinggi, ayah Erik, Alamsyahfudin, menggugat Kepolisian secara perdata lantaran anaknya menjadi korban penganiayaan oknum Polsekta Bukittinggi setelah dituduh mencuri sepeda motor. Setelah ditangkap, Erik mulai dianiaya hingga disiksa. Tindakan itu dilakukan saat Erik diperiksa di ruang operasional Polsekta Bukittinggi. Akibat perlakuan seperti itu, Alamsyah tak terima dan menempuh upaya hukum secara perdata dan memberi kuasa kepada pengacara pubik pada LBH Padang.

Upaya ini memperlihatkan estafet perjuangan yang sebelumnya dilakukan Koko kembali diteruskan Erik. Namun nasib baik menyelimuti Erik dan keluarga. Mahkamah Agung (MA) melalui putusan No.2638K/Pdt/2014 menolak permohonan kasasi yang diajukan Polsekta Bukittinggi Polda Sumatera Barat dan otomatis berlaku putusan PN Bukittinggi pada 7 November 2013 yakni menghukum para Tergugat (polisi) untuk membayar ganti rugi kepada Alamsyah senilai Rp700 ribu kerugian materiil dan Rp100 juta kerugian immaterial. Majelis hakim agung menilai para Tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, yakni melakukan penganiayaan terhadai korban, Erik.

Dalam putusan pengadilan tersebut, para Tergugat mulai dari Pemerintah Republik Indonesia, c/q Presiden RI, c/q Kepala Kepolisian RI, c/q Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, c/q Kepala Kepolisian Resor Buktitinggi, c/q Kepala Kepolisian Sektor Kota Bukittinggi harus membayar ganti rugi Rp100.700.000 secara tanggung renteng karena perbuatan melawan hukum itu dilakukan bersama-sama. Di tingkat PN Buktitinggi gugatan dikabulkan sebagian dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Barat.

“Ini jadi preseden baiklah, bagi orang yang menjadi korban dari kepolisian baik rekayasa kasus atapun tindak pidana kasus penyiksaan dan pemukulan terhadap tersangka,” sebut Maruli Tua yang kini menjadi Managing Partner Maruli Tua Rajaguguk Law Office.

Mengikuti jejak Koko dan keluarganya, gugatan tersebut juga diawali dengan perkara pidana yang telah diputuskan pada 22 Oktober 2012. Melalui Putusan PN Bukittinggi No.75/Pid.B/2012/PN.BT, majelis hakim PN Bukittinggi memutus keenam terdakwa yang merupakan anggota Polsekta Bukittinggi dihukum pidana penjara. Empat terdakwa dihukum 10 bulan penjara dan  dua lainnya dihukum 1 tahun penjara. Masing-masing hukuman tersebut dua bulan lebih rendah dari tuntutan jaksa. Patut diketahui, penyiksaan yang dilakukan enam anggota Polsekta Bukittinggi mengakibatkan nyawa Erik melayang.  

Satu hal yang mesti diteladani dari semangat Koko dan Erik beserta keluarga mereka adalah tetap memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Dan yang terpenting, kisah inspiratif perjuangan melalui jalur hukum mesti selalu dijadikan langkah bagi setiap anak-anak lainnya di Indonesia ketika mengalami keadaan seperti itu, walaupun tak seorang pun orang tua ingin anaknya mengalami kejadian yang tragis...

Selamat Hari Anak Nasional Indonesia!
Tags:

Berita Terkait