Kalangan Buruh Ikut Gugat UU Pengampunan Pajak
Berita

Kalangan Buruh Ikut Gugat UU Pengampunan Pajak

Pemohon berharap MK bisa meletakkan UU Pengampunan Pajak ini dalam kerangka konstitusi dan rasa keadilan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Said Iqbal, Presiden KSPI, ikut gugat UU Pengampunan Pajak. Foto: RES
Said Iqbal, Presiden KSPI, ikut gugat UU Pengampunan Pajak. Foto: RES
Setelah Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), kini giliran kalangan buruh dari berbagai organisasi melayangkan judicial review beberapa pasal UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pemohonnya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Partai Buruh. Para pemohon secara tegas menolak keberadaan UU Pengampunan Pajak ini.

“Kita menyerahkan berkas permohonan judicial review terhadap UU Tax Amnesty. Penggugatnya para buruh yang tergabung dalam beberapa elemen,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal usai mendaftar permohonan ini di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jum’at (22/7).

Ada beberapa pasal yang dimohonkan pengujian terutama Pasal 1, Pasal 4, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 34 UU Pengampunan Pajak. Mereka meminta MK menghapus pasal-pasal itu lantaran secara umum berlakunya UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dinilai menggadaikan hukum dan menciderai rasa keadilan bagi kalangan buruh. Kalangan buruh umumnya adalah pembayar PPh 21 yang taat ketika menerima upah.

“Permohonan ini, intinya UU Tax Amnesty ini dinilai menciderai rasa keadilan kaum buruh yang jumlah sekitar 44 juta buruh formal dan 100 juta lebih buruh informal. Ketika buruh terlambat membayar PPh 21 dikenakan denda. Tetapi giliran para pengusaha yang ‘maling’ pajak, justru diampuni,” kata Said.

Ditegaskan Said, UU Tax Amnesty ini telah menggadaikan hukum dengan uang demi mengejar pertumbuhan ekonomi guna menutupi defisit anggaran negara. Sebab, pengusaha pengemplang pajak diberi “karpet merah”melalui pengampunan pajak. “Ini sama saja, para ‘maling’ pajak dilindungi, pembayar pajak taat justru dibiarkan,” kata dia.

Ketidakadilan kaum buruh semakin terasa, ketika Pemerintah menerbitkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang mengembalikan pada rezim upah murah dan menghilangkan hak berunding serikat buruh untuk menentukan besarnya upah minimum. Padahal, dari data ILO, upah rata-rata buruh Indonesia hanya AS$174/bulan. ini lebih rendah dibandingkan Vietnam AS$181, Thailand AS$357, Philipina AS$206, dan Malaysia AS$506.

“Kalau begitu, kami juga bisa menuntut hak yang sama. Bagaimana kalau PBB, PPh 21, pajak kendaraan bermotor dibebaskan, kita juga berhak minta pengampunan,” lanjutnya.

Dia mengingatkan Pasal 27 UUD 1945 menggariskan setiap warga negara memiliki kesamaan dan kedudukan di hadapan dalam hukum. Namun, berlakunya UU Tax Amnesty ini justru mengandung diskriminasi antara buruh dan pengusaha. “Dengan demikian, jelas UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945.”

Karena itu, menurutnya dana denda repartriasi dan deklarasi hasil pengampunan pajak sebesar Rp165 triliun yang masuk dalam APBN-P 2016 adalah dana “ilegal-haram” karena sumber dananya berasal dari pengampunan pajak yang jelas-jelas melanggar UUD 45. “Dana denda itu haram karena diambil dari kejahatan pajak,” tegasnya.

Ironisnya, Pasal 34 UU Pengampunan Pajak disebutkan bagi pegawai pajak atau siapapun yang membuka data para pengemplang pajak dari dana yang ada di luar negeri (repatriasi) maupun dari dalam negeri (deklarasi) akan dihukum penjara 5 tahun. “Sungguh, aneh negeri ini, kenapa bisa orang yang mengungkap kejahatan pajak atau membeberkan data orang yang tidak bayar pajak dihukum 5 tahun penjara?”

“UU Pengampunan Pajak pun tidak peduli asal usul dana repatriasi dan deklarasi tersebut. Ada kesan, yang penting ada dana masuk (ke negara) tanpa mempedulikan darimana sumbernya. Jelas ini berbahaya karena bisa saja dana hasil pencucian uang, korupsi, perdagangan manusia, hingga hasil kejahatan narkoba,” tudingnya.

Dia menambahkan setiap negara yang menerapkan UU Tax Amnesty ini seperti India dan Italia berujung kegagalan. Bahkan, catatan sejarah Indonesia pernah menjalankan kebijakan ini di era Orde Lama dan tahun 1984, tetapi gagal. “Kami minta MK bisa meletakkan UU ini dalam kerangka konstitusi dan rasa keadilan, bukan semata mengejar pertumbuhan ekonomi. Kita setuju menutup defisit anggaran, tetapi bukan dengan cara menggadaikan hukum,” kritiknya.

Namun, nampaknya pemerintah tak bergeming atas penolakan terbitnya kebijakan pengampunan pajak ini. Malah, Menteri Keuangan menetapkan paket peraturan teknis pelaksanaan UU Pengampunan Pajak. Dimulai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.03/2016 tanggal 15 Juli 2016 tentang Pelaksanaan UU Pengampunan Pajak. Ada lima belas poin yang diatur dalam aturan teknis amnesti pajak ini.
Tags: