Komnas HAM Sikapi Tindakan Terhadap Mahasiswa Papua
Berita

Komnas HAM Sikapi Tindakan Terhadap Mahasiswa Papua

Jangan sampai menimbulkan gesekan dan konflik antaretnis.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP
Tindakan kepolisian, dibantu massa dari ormas, di asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta mendapat perhatian serius Komnas HAM. Komisi telah menurunkan tim ke lapangan Pada 19-21 Juli 2016. Hasil penyelidikan dirilis Komnas di Jakarta, Jum’at (22/7).

“Peristiwa itu mendapat perhatian serius dari masyarakat luas bukan saja nasional tapi juga internasional. Bahkan ada potensi gesekan antar etnis di Yogyakarta dan Papua,” kata komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (22/07).

Sebagai Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta, Natalius mengatakan tim telah melakukan wawancara terhadap sejumlah pihak terkait. Para pihak yang diminta keterangan antara lain mahasiswa, Gubernur dan Kapolda DI Yogyakarta.

Wakil Ketua Komnas HAM, Ansori Sinungan, menyebut ada 8 dugaan pelanggaran HAM dalam kasus tersebut. Pertama, terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pemerintah daerah dan kepolisian mestinya memberi ruang dan perlindungan. Menurutnya pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat itu bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol) dan UU No. 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.

Kedua, ada tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap mahasiswa di luar lingkungan asrama mahasiswa Papua. Penganiayaan dan penyiksaan yang dilakukan secara sadar dan sengaja itu pelanggaran HAM. Tindakan itu tidak selaras UU HAM, Konvensi Hak Sipil dan Politik dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.

Ketiga, Komnas HAM menilai terjadi hate speech berupa kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme, dilakukan oleh anggota ormas yang ikut mengepung asrama. “Mereka mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Itu bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” ucap Ansori.

Keempat, aparat kepolisian melakukan pembiaran terhadap ormas intoleran yang ikut mengepung asrama. Aparat tidak melakukan pencegahan, apalagi ormasi itu melakukan hate speech. Komnas HAM menilai itu sebagai pelanggaran HAM karena aparat melakukan pembiaran (by omission).

Kelima, Pemerintah Provinsi Yogyakarta dinilai belum memberikan jaminan atas kebebasan dan keamanan bagi mahasiswa Papua. Belum ada langkah kongkrit seperti penerbitan Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur dan kebijakan lain untuk mencegah tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Upaya pencegahan itu penting karena lima tahun terakhir terjadi stigma negatif terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Keenam, terjadi penangkapan dan penahanan terhadap 8 mahasiswa Papua, satu orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Ansori mengatakan tindakan itu dilakukan tanpa menunjukan dua alat bukti yang kuat, sehingga bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang berkeadilan dan non diskriminatif.

Ketujuh, kepolisian dianggap melakukan tindakan berlebihan (excessive use of power). Menurut Ansori itu dapat dilihat dari pengerahan jumlah aparat yang besar dan penggunaan senjata serta gas air mata yang diarahkan ke asrama.

Kedelapan, Komnas HAM menyoroti pernyataan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang menyebut separatisme tidak boleh ada di Yogyakarta. Menurut Ansori pernyataan itu multitafsir karena tidak ditujukan kepada pihak yang melakukan separatisme, tapi dapat dimaknai argumen itu ditujukan kepada orang Papua di Yogyakarta.

Ansori menegaskan Gubernur Yogyakarta harus memastikan adanya penghormatan terhadap HAM dan perlindungan untuk seluruh warga. Menurutnya masyakarakat Yogyakarta bisa menganggap pernyataan Gubernur itu sebagai titah atau sabda dari raja. Dikhawatirkan masyarakat Yogyakarta termasuk ormas menggunakan pernyataan itu untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan HAM.

“Komnas HAM merekomendasikan kepada pemerintah pusat, Kapolri, pemerintah provinsi Yogyakarta untuk melakukan tindakan hukum dan pencegahan,” pungkas Ansori.
Tags:

Berita Terkait