BI Percaya Program Pengampunan Pajak Tingkatkan Dana Pihak Ketiga
Berita

BI Percaya Program Pengampunan Pajak Tingkatkan Dana Pihak Ketiga

Tapi perlu instrumen yang tepat, jika tidak, bisa menimbulkan risiko.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia (BI) percaya bahwa program pengampunan pajak atau tax amnesty yang tengah digiatkan pemerintah dapat meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) di sektor perbankan. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung mengatakan, dana itu nantinya bisa disalurkan ke pembiayaan pembangunan ekonomi.

"Dana repatriasi yang berasal dari tax amnesty bisa memberikan tambahan dana untuk pembiayaan pembangunan dari sektor swasta sehingga LDR (Loan to Deposit Ratio) turun dan DPK naik," kata Juda saat di Jakarta, Senin (25/7).

Juda mengatakan, pertumbuhan DPK dalam beberapa tahun terakhir sedang melambat. Akibatnya, sektor perbankan mengalami kesulitan untuk menyalurkan kredit yang dibutuhkan dalam mendorong kinerja perekonomian. Kondisi ini terlihat dari rasio DPK terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam tiga tahun terakhir yang stagnan dalam posisi 37 persen atau mirip seperti situasi ketika terjadi krisis finansial pada 1997-1998, yang waktu itu tercatat mencapai 38-39 persen.

Namun, kata Juda, dana repatriasi modal milik Warga Negara Indonesia (WNI) dari luar negeri yang ikut program amnesti pajak diharapkan bisa meningkatkan kinerja DPK. Menurut perkiraan BI, dana yang berasal dari repatriasi modal bisa mencapai kisaran Rp650 triliun atau sekitar lima persen terhadap PDB, sehingga menambah rasio DPK terhadap PDB mencapai kisaran 42 persen.

"DPK masih 37 persen, kebijakan repatriasi diharapkan bisa menambah DPK dan memberikan ruang bagi perbankan untuk menyalurkan kredit. Selanjutnya, bagaimana bisa me-maintain dana lima persen PDB ini agar tidak keluar kembali," kata Juda.

Perbaikan kinerja DPK yang berjalan seiring dengan pertumbuhan kredit sektor di bidang perdagangan, jasa keuangan serta properti ini diharapkan menjadi momentum perbaikan siklus pertumbuhan kredit secara keseluruhan mulai 2017. Meski begitu, ia mengingatkan, program ini bukan tanpa cela.

Juda mengatakan, jika program ini tak disiapkan instrumen dana yang tepat berpotensi menimbulkan sejumlah risiko. Mulai dari aset bubble, memberikan pelemahan kurs di akhir masa locking period dan biaya sterilisasi yang besar. Untuk itu, instrumen tepat menjadi hal penting dalam mendukung program ini.

"Intinya mengelola dana agar terserap oleh sektor riil dan berdampak dalam jangka panjang, karena kalau tidak, ini hanya menjadi massive capital inflow yang berisiko bubble dan menumpuk di secondary market, serta menambah tekanan kepada nilai tukar dan biaya yang dikeluarkan BI sangat besar," katanya.

Sementara itu, Juda memprediksi dana repatriasi dari program yang diproyeksikan memberikan dampak positif ke penerimaan negara dan mendorong penguatan kurs rupiah ini masuk pada akhir tahun 2016. Hal ini berdampak positif ke kinerja perekonomian nasional mulai awal 2017.

BI telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk optimalisasi amnesti pajak, yaitu dengan memperkuat strategi pengelolaan cadangan devisa, memperkuat strategi pengelolaan operasi moneter, menambah instrumen lindung nilai, menambah variasi outlet investasi di pasar keuangan dan menyiapkan kebijakan makroprudensial untuk mendorong kredit serta mengelola agar tidak terjadi bubble.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan keterlibatan bank asing dalam menghimpun danaamnesti pajak adalah memudahkan layanan Wajib Pajak (WP) yang mengikutsertakan dirinya dalam program tersebut. "Justru kita ingin memanfaatkan bank asing untuk kepentingan nasional dan untuk pelayanan kepada Wajib Pajak yang sudah terlanjur menyimpan dananya di bank asing sehingga mereka lebih dimudahkan untuk ikut tax amnesty," katanya.

Misbakhun mengatakan publik tidak perlu khawatir bank asing memiliki kepentingan menguasai dana repatriasi WP yang selama ini dihimpun di luar negeri. Menurut dia, banyak nasabah atau WP yang sebelumnya menghimpun dana di bank asing sehingga untuk memudahkan pengembalian dana dapat dialihkan ke bank serupa yang memiliki cabang di Indonesia dan nasabah dapat tetap mempertahankan investasi mereka.

Dengan demikian, dana repatriasi tetap dalam pengelolaan sistem keuangan negara dan WP merasa terlayani setelah mereka mengikuti amnesti pajak. "Bank asing ini hanya sebagai sarana pembayaran saja. Yang memanfaatkan dana itu tetap negara melalui sistem perbankan Indonesia," ujar politisi asal Partai Golkar tersebut.

Adapun Kementerian Keuangan menyatakan sebanyak 18 bank setuju menjadi bank persepsi yang menampung dana repatriasi modal dari hasil program amnesti pajak. Bank persepsi tersebut, antara lain Bank Central Asia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Danamon, Bank Permata, Maybank Indonesia, Bank Pan Indonesia, CIMB Niaga dan Bank UOB Indonesia.

Selain itu, Citibank, DBS Indonesia, Standard Chartered, Deutsche Bank, Bank Mega, BPD Jawa Barat dan Banten, Bank Bukopin dan Bank Syariah Mandiri. Hanya HSBC yang belum memastikan kesediaan untuk menjadi bank persepsi. Dana yang masuk tersebut bisa disalurkan ke berbagai instrumen investasi yang telah disiapkan pemerintah maupun sektor swasta, seperti Surat Berharga Negara (SBN), obligasi BUMN, reksadana, deposito, giro, termasuk sektor riil seperti properti, paling lama selama tiga tahun.
Tags:

Berita Terkait