Ini Pekerjaan Rumah Komisioner KPI Terpilih
Berita

Ini Pekerjaan Rumah Komisioner KPI Terpilih

Salah satu pekerjaan rumah yang mendesak untuk dibereskan KPI adalah soal deregulasi, termasuk di dalamnya soal peran KPI dalam dunia penyiaran.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: infonitas.com
Foto: infonitas.com
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk periode 2016-2019 telah terpilih. Kalangan masyarakat sipil mendesak agar komisioner yang baru terpilih bisa lebih progresif. Setidaknya, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh KPI segera.

Menurut Ketua Umum AJI Suwarjono, salah satu pekerjaan rumah yang mendesak untuk dibereskan KPI adalah soal deregulasi, termasuk di dalamnya soal peran KPI dalam dunia penyiaran. Selain itu, kata Suwarjono pekerjaan yang tak kalah penting adalah soal perpanjangan izin sepuluh stasiun televisi yang akan habis pada tahun ini.

“Kepada KPI yang lama kita pernah diskusi bersama. kita akan menguji KPI yang baru ini bisakah KPI independen terhadap televisi-televisi. Apalagi pada tahun 2016 pelanggaran penyiaran terjadi sangat banyak. PR-nya, bisakah KPI menata ulang penyiaran ke depan terutama soal izin perpanjangan,” ungkap Suwarjono dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (27/8).

Da menambahkan, KPI harus mampu memaksimalkan perannya menjadi filter siaran-siaran yang tidak bermanfaat bagi publik. Terlebih, jika ada siaran yang justru merugikan masyarakat banyak. Ia mencontohkan, seharusnya KPI tidak hanya konsen dengan urusan pornografi dan pornoaksi saja. Akan tetapi, ada tayangan yang bisa menimbulkan gejolak di masyarakat. (Baca Juga: Sembilan Isu Strategis RUU Penyiaran)

“Misalnya, menibulkan dendam kolektif atau kecemasan publik. Atau yang memang tidak bermanfaat bagi publik, seperti koflik anaknya artis Ahmad Dani dengan pengacara Farhat Abbas yang ditayangkan setiap hari. Tayangan ini tidak ada manfaatnya bagi publik,” jelasnya.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yadi Hendriana, menuturkan bahwa teguran KPI terhadap industri televisi paling banyak dilayangkan untuk program jurnalisme. Padahal, program jurnalisme hanya sebagian kecil dari tayangan televisi. Yadi menyebut, tak lebih dari 20% porsi program jurnalisme di televisi.

“Ini artinya apa, jurnalis harus lebih memahami etika dan regulasi. Tidak semua yang eksklusif layak untuk ditayangkan. Meskipun, itu peristiwa yang memang fakta adanya. Selama bisa membawa dampak buruk bagi publik, tidak perlu diberitakan,” ungkap Yadi.

Yadi mengeluhkan tayangan televisi yang juga berbau politik, dalam arti dijadikan alat kampanye politik oleh pemilik modalnya. Menurutnya, frekuensi televisi adalah milik publik. Dengan demikian, tidak seharusnya program yang ditayangkan di televisi tersebut digunakan untuk kepentingan politik tertentu. (Baca Juga: KPI Tegur Metro TV dan TvOne Soal Netralitas Tayangan Capres)

“Janganlah berita yang disampaikan dipotong-potong. Diambil hanya yang menguntungkan pihaknya dan juga yang merugikan pihak lawannya,” sesal Yadi.

Ia mendesak agar KPI lebih transparan dan akuntabel terkait perpanjangan izin televisi. Menurutnya, KPI harus mengambil tindakan terhadap televisi-televisi yang menyiarkan tayangan bias politik. Bisa saja, pada akhirnya tindakan itu berupa penghentian izin.

“Di luar negeri itu bukan hanya soal pornografi saja yang diawasi oleh lembaga seperti KPI. Siaran yang bias politik bahkan lebih diawasi lagi. Seharusnya, KPI bisa menghentikan izin tivi-tivi yang memang siarannya melanggar aturan dan etika,” tandasnya.

Anggota KPI terpilih Hardley Stefano menegaskan, dirinya akan melakukan pembaharuan di KPI. Dia menjelaskan, terkait dengan izin televisi saat ini pihaknya sudah menyampaikan rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi. Pada proses selanjutnya, ia bersama anggota KPI lainnya yang akan mengawal prosesnya.

“Kami minta agar bisa mereview rekomendasi tersebut. Soal Integritas saya mohon dijaga kawan-kawan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait