8 Panduan PBB untuk Negara yang Mengadopsi Hukuman Mati
Berita

8 Panduan PBB untuk Negara yang Mengadopsi Hukuman Mati

Dari semua upaya hukum harus diupayakan sampai dengan eksekusi tidak boleh mengakibatkan penderitaan bagi terpidana.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Hingga September 2007, ada 142 negara yang sudah melakukan penghapusan (abolisi) hukuman mati dengan berbagai bentuk. Sementara, terdapat 55 negara yang masih menerapkan hukuman mati.

Putri Kanesia, Kepala Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik (Sipol) KontraS menjelaskan bahwa hukuman mati terdapat dalam Hukuman Pokok yang terdapat didalam KUHP. Pasal 10 KUHP menyatakan jenis hukuman pokok diantaranya ialah hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda. Namun memang ada peraturan dari PBB yang mengatur mengenai Jamininan terhadap mereka yang dipidana hukuman mati. (Baca Juga: Komisi HAM PBB: Hukuman Mati Bukan untuk Kejahatan Narkotika)

Putri menjelaskan, dalam konteks Kovenan Sipol (bagi Negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati), PBB mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan Bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984) atau Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty. “Ketentuan tersebut terus diperbaharui, termasuk terakhir oleh Resolusi Komisi HAM 2005/59,” kata Putri kepada hukumonline, Kamis (28/7).

Panduan ini memperjelas pembatasan praktik hukuman mati menurut Kovenan Sipol. Pembatasan praktik hukuman mati tersebut antara lain:

Pertama, di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji.

Kedua, hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Bila di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. Hukuman mati yang bersifat wajib diterapkan (mandatory death penalty) untuk suatu kejahatan juga tidak diperbolehkan.

Ketiga, hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun, pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati juga tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.

Ketiga, hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian. Keempat, hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.

Kelima, seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib. Keenam, seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan Pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.

Ketujuh, hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman. Delapan, ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan. Meski demikian, masih menjadi perdebatan apakah hukuman mati merupakan jenis hukuman kejam (corporal punishment) sebagaimana yang menjadi subjek isu Pasal 7 Kovenan Sipol dan juga Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia/ Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984).

Putri menambahkan, meski hukuman mati masih diberlakukan di banyak negara, namun sifatnya harus ultimum remedium (sanksi yang diberikan ketika sanksi lainnya sudah tidak dapat digunakan) dan juga dengan persyaratan yang ketat. (Baca juga: Ini 10 Hal yang Perlu Diketahui Tentang Eksekusi Hukuman Mati).

“Ada batasan atau aturan bahwa seseorang itu dapat boleh dieksekusi. Yang pasti eksekusi baru boleh dilakukan kalau misalnya smeua upaya hukum dilakukan. Sayangnya, di Indonesia ini banyak sekali belum melakukan upaya hukum. Menurut ICCPR, mereka punya hak untuk mengajukan pengampunan atau grasi. Saat ini nama yang berpotensi masuk di gelombang 3 banyak yang belum melakukan grasi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait