Menkeu Baru Perlu Prioritaskan Reformasi Perpajakan
Berita

Menkeu Baru Perlu Prioritaskan Reformasi Perpajakan

Diyakini mampu menggenjot penerimaan negara dalam jangka waktu panjang.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pajak. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pajak. Ilustrator: BAS
Masuknya Sri Mulyani Indrawati ke dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendapat reaksi positif dari pasar. Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, mengatakan ada sejumlah pekerjaan rumah yang dihadapi Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, salah satunya menggenjot penerimaan pajak yang saat ini baru mencapai 30 persen dari target.

Yenny tidak yakin kebijakan tax amnesty yang digulirkan pemerintah mampu mendorong meningkatnya penerimaan negara. Menurutnya, yang lebih tepat dilakukan pemerintah yaitu membahas dan mengesahkan revisi UU No. 16 Tahun 2009  tentang Perubahan Keempat UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ia mencatat revisi UU tersebut sudah dua tahun ini masuk program legislasi nasional (prolegnas), namun pembahasannya mandek.

Bagi Yenny, tax amnesty tidak menyasar perbaikan sistem administrasi perpajakan, termasuk infrastrukturnya. Tax amnesty hanya mengutamakan adanya dana repatriasi yang masuk ke Indonesia. Sedangkan yang diperlukan saat ini reformasi perpajakan dengan cara merevisi UU KUP. Revisi itu bisa mengubah sistem adminstrasi perpajakan konvensional yang selama ini digunakan menjadi modern sehingga membangun tertib adminstrasi dan perpajakan lewat mekanisme online.

“Kalau Sri Mulyani konsisten dengan harapannya melakukan perombakan dalam sistem administrasi perpajakan maka dia perlu memprioritaskan revisi UU KUP,” kata Yenny dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/07).

Selain itu, dikatakan Yenny, reformasi perpajakan perlu digulirkan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Selama ini pemerintah tidak mengetahui berapa banyak WNI yang menyimpan uangnya di luar negeri. Itu terjadi karena sistem administrasi perpajakan di Indonesia tidak dibangun dengan baik. Pembenahan dalam sistem perpajakan diyakini mendongkrak penerimaan negara, misalnya selama ini negara berpotensi kehilangan penerimaan dari pembayaran royalti dibidang Sumber Daya Alam (SDA) sampai Rp150 triliun setiap tahun. Begitu pula pengelakan pajak yang mencapai Rp110 triliun per tahun.

“Untuk itulah kami terus mendesak pemerintah untuk memprioritaskan revisi UU KUP daripada tax amnesty. Kebijakan tax amnesty tidak berbicara soal sistem administrasi perpajakan yang berkelanjutan,” papar Yenny.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Dani Setiawan, menilai dengan susunan kabinet yang ada saat ini pemerintah akan fokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kualitas dan sebaran dari masyarakat yang merasakan pertumbuhan ekonomi. Ujungnya, pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak otomatis menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi di masyarakat. Di akhir masa jabatan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan masa pemerintahan SBY, tingkat kesenjangan di Indonesia mencapai 0,41, padahal sebelumnya sekitar 0,3.

Mengingat Sri Mulyani sebelumnya menjabat sebagai Managing Director World Bank, Dani khawatir terhadap potensi meningkatnya utang luar negeri pemerintah. Mengacu data Kementerian Keuangan Juni 2016, jumlah utang dalam negeri dan luar negeri pemerintah dan swasta mencapai Rp5.422 triliun. Tahun 2015 realisasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri oleh pemerintah mencapai Rp382 triliun dan Rp480 triliun pada 2016.

“Melihat profile para menteri yang ditunjuk, perombakan kabinet yang kedua ini membuat publik pesimis terhadap arah perekonomian Indonesia,” tukas Dani.

Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai pergantian kabinet ini semakin menjauhkan pemerintah dari tujuannya sebagaimana tertuang dalam Nawacita, khususnya kemandirian di bidang ekonomi. Begitu pula di bidang penegakan HAM, karena salah satu Menteri yang diangkat dinilai berkaitan dengan sejumlah peristiwa pelanggaran HAM.
Tags:

Berita Terkait