Penerapan Kewajiban Pro Bono Terhambat Konflik Organisasi Advokat
Utama

Penerapan Kewajiban Pro Bono Terhambat Konflik Organisasi Advokat

Padahal, telah ada peraturan yang mewajibkan kerja pro bono 50 jam per tahun.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa
Pada akhir Juli lalu, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang diketuai Fauzie Yusuf Hasibuan menjadi salah satu delegasi konferensi yang membahas perlindungan hak-hak buruh migran Asia Tenggara di Kuala Lumpur. Dalam pertemuan Asean Bar Associations Conference tersebut, PERADI Fauzie menyampaikan, asosiasi advokat di negara-negara Asean dapat memberi perlindungan hukum bagi buruh migran di negaranya masing-masing.

Perwakilan PERADI Fauzie dalam konferensi tersebut, Togar SM Sijabat, mengatakan bahwa advokat Indonesia telah memberikan contoh yang cukup baik dalam memberikan perlindungan hukum bagi buruh migran. Misalnya, advokasi bagi ABK korban perbudakan di Pulau Benjina, Maluku yang sebagian besar berkewarganegaraan Myanmar, Laos, dan Vietnam. Ia menambahkan, aksi tersebut tentu saja diberikan secara pro bono.

"Dengan semangat reciprocal, PERADI menyerukan agar asosiasi-asosiasi advokat di Asean dapat melakukan hal yang sama jika terdapat TKI yang berhadapan dengan hukum di negara-negara Asean,” ujar Togar kepada hukumonline, Selasa (2/8).

Selain itu, kewajiban pro bono yang bersifat universal juga menjadi salah satu prinsip Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Sehingga, kerja pro bono sudah selayaknya dilakukan oleh advokat di negara manapun. Ia pun menuturkan, di dalam konferensi bantuan pro bono bagi buruh migran menjadi salah satu resolusi yang dihasilkan. (Baca Juga: Hanya Satu Law Firm Indonesia Masuk Pro Bono Index 2016)

Di sisi lain, Togar tak menampik bahwa kewajiban pro bono bagi advokat di Indonesia belum bisa sepenuhnya dilaksanakan. Padahal, PERADI telah memiliki aturan yang mewajibkan seorang advokat memberikan kerja pro bono minimal 50 jam per tahun. Sayangnya, ada beberapa kendala yang masih menghadang.

Tak heran, dalam Index of Pro Bono 2016 yang dirilis oleh TrustLaw, hanya satu lawfirm di Indonesia yang tercatat memberikan layanan pro bono secara struktural. Sementara itu, negara di kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Thailand, dan Singapura cukup mencuri perhatian.

Singapura misalnya, tercatat ada 15 kantor hukum dalam Index of Pro Bono 2016. Hampir 30% advokat di sana melakukan pro bono minimal 10 jam per tahun. Survey TrustLaw mensinyalir bahwa kondisi ini didukung oleh sistem yang cukup apik dalam menerapkan kewajiban pro bono yang harus selalu dilaporkan oleh para advokat di Negeri Singa itu dalam proses permohonan lisensi.

Di Thailand, muncul lima kantor hukum yang terlibat dalam survey Index of Pro Bono 2016. Rata-rata layanan pro bono yang diberikan oleh seorang advokat di negeri seribu pagoda itu adalah sekitar 17 jam. Angka ini menurut survey Index of Pro Bono menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar pada angka 18,5%. (Baca Juga: 2015, Tren Pro Bono Dunia Meningkat)   

“Ada beberapa masalah yang kita hadapi dalam menerapkan pro bono di Indonesia. Pertama, kita tidak menampik bahwa konflik rumah tangga Peradi membuat kita belum bisa konsisten menerapkan aturan itu,” tambahnya.

Ia menjelaskan, seharusnya pada saat perpanjangan kartu anggota Peradi seorang advokat harus dievaluasi terkait dengan pelayanan pro bono yang diberikan. Jika tidak sesuai ketentuan, bisa saja kartu advokat yang bersangkutan tidak diperpanjang. “Tetapi kan, kita kalau kita terapkan ini mereka bisa menyeberang ke kelompok sana,” tandas Togar.

Togar mengakui, kerja pro bono memang masih belum bisa dilakukan secara leluasa oleh advokat di Indonesia. Birokrasi kantor hukum kadang kala menjadi kendala tersendiri. Tak jarang, menurut Togar, advokat yang berinisiatif melakukan kerja pro bono harus meminta persetujuan dari senior partnernya terlebih dulu.

“Bukannya tidak mau, tetapi kan umumnya advokat kita bekerja di kantor hukum. Secara manajemen hal ini membuat sebagian advokat masih belum independen,” ujarnya.

Sementara itu, Togar melihat bahwa gairah memberikan layanan pro bono justru banyak digelorakan oleh pengacara korporasi. Ia mengaku, banyak kalangan legal counsel yang minta dilibatkan secara pro bono dalam pendampingan perkara pidana. Menurutnya, hal ini lantaran mereka membutuhkan aktualisasi diri di luar rutinitas pekerjaannya.

Tags:

Berita Terkait