Cabut BAP Soal "Deal" Aguan, Saksi Pernah Disatroni Orang Tak Dikenal
Berita

Cabut BAP Soal "Deal" Aguan, Saksi Pernah Disatroni Orang Tak Dikenal

Saksi beralasan tidak mau memfitnah dan merusak citra orang lain jadi alasan pencabutan BAP. Sedangan keterangan saksi pernah disatroni orang tak dikenal, tak dicabut.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan suap pembahasan Raperda tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (27/7).
Chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan suap pembahasan Raperda tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (27/7).
Tiga kali dipanggil untuk bersaksi dalam sidang perkara suap Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro, Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah (KNI) Budi Nurwono tak kunjung memenuhi panggilan. Alasannya, Budi sedang berobat di Singapura. Alhasil, penuntut umum KPK Ali Fikri hanya membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Budi di persidangan.

Dalam BAP nomor 18 tanggal 14 April 2016, Budi menerangkan, pada Januari 2016, terjadi pertemuan antara sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, dan pendiri Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Sebagaimana diketahui, anak usaha Agung Sedayu Group, PT KNI, serta anak usaha PT APL, PT Muara Wisesa Samudra (MWS) dan PT Jaladri Kartika Pakci (JKP) merupakan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi. PT KNI mendapat izin pelaksanaan reklamasi untuk Pulau C dan D, sedangkan PT MWS dan PT JKP untuk Pulau G dan I.

Ali mengatakan, pada pertemuan di rumah Aguan tersebut, Budi mendengar beberapa anggota DPRD DKI Jakarta, Ariesman, dan Aguan, membicarakan soal percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang sedang dibahas di DPRD DKI Jakarta. (Baca Juga: Ahok Sebut Bangunan di Pulau Reklamasi Tak Masalah)

Masih dalam BAP, Budi menyebutkan, ada anggota DPRD DKI Jakarta yang meminta uang sejumlah Rp50 miliar. "Yang menyanggupi untuk memberikan uang adalah Pak Aguan. Permintaan uang dalam rangka kelancaran sidang paripurna untuk mempercepat pengesahan Raperda," kata Ali saat membacakan BAP Budi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/8).

Dalam BAP nomor 97, Budi juga menerangkan, ia tidak mengenali siapa anggota DPRD DKI Jakarta yang meminta Rp50 miliar kepada Aguan dalam pertemuan di Pantai Indah Kapuk. Namun, karena pertemuan itu hanya dihadiri oleh anggota DPRD DKI Jakarta, PT KNI dan PT APL selaku pengembang, maka permintaan uang datang dari anggota DPRD DKI.

Walau begitu, Budi mengaku tidak mengetahui, apakah penyerahan uang kepada anggota DPRD DKI Jakarta sudah direalisasikan oleh Aguan. Belakangan, Ali menyampaikan, keterangan dalam BAP nomor 18 dan 97 ini dicabut Budi melalui surat bermaterai di hadapan notaris di Singapura. Surat itu disahkan pula oleh kantor Kedutaan Indonesia di Singapura.

Melalui suratnya, Budi mengaku tidak pernah mengikuti pertemuan di rumah Aguan di Pantai Indah Kapuk. Budi mencabut juga keterangannya mengenai adanya permintaan uang Rp50 miliar dari anggota DPRD DKI Jakarta. Ia beralasan, pencabutan keterangan itu karena sedang sakit, serta tidak mau memfitnah dan merusak citra orang lain.

Selain membacakan BAP Budi Nurwono, Ali juga membacakan BAP Manajer Proyek PT KNI Budi Setiawan. Ali membeberkan, alasan Budi Setiawan tidak dapat bersaksi di persidangan karena sedang bekerja di Singapura. Budi Setiawan mengaku tidak diizinkan perusahaannya untuk hadir di persidangan dan takut dipecat.

Dalam BAP-nya, Budi Setiawan menerangkan pernah berkomunikasi dengan Budi Nurwono terkait ketentuan tambahan kontribusi 15 persen dalam Raperda yang akan dibebankan kepada pengembang reklamasi. Terkait hal ini, Budi Setiawan sempat diminta menghubungi anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. (Baca Juga: Akui Bertemu Aguan, Ketua DPRD: Saya Kan Bekas Karyawan Beliau)

Sebenarnya, soal pertemuan di Pantai Indah Kapuk yang disebut dalam BAP Budi Nurwono, pernah pula diterangkan Aguan saat bersaksi di persidangan. Pertemuan terjadi dua kali. Pertama, pada Desember 2015. Kala itu, Aguan bertemu Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, Sanusi, Mohamad Taufik, Mohamad "Ongen" Sangaji, dan Selamat Nurdin.

Taufik diketahui sebagai Ketua Balegda DPRD DKI Jakarta, sedangkan Sanusi dan Ongen adalah anggota Balegda. Sementara, Selamat merupakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus Ketua Panitia Khusus (Pansus) pembahasan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta.

Aguan mengaku, pertemuan itu hanya untuk silaturahmi. Tidak ada pembahasan mengenai Raperda. "Jadi, itu hari minggu. Saya juga kumpul dengan keluarga, mereka datang. Kita ngobrol biasa saja. Saya kan keluar masuk, karena keluarga datang banyak. Cuma ngumpul sebentar saja. Tidak ada setengah jam, mereka pulang," ujarnya.

Begitu pula saat pertemuan kedua pada 8 Februari 2016. Aguan mengatakan, karena hari tersebut adalah perayaan imlek, ia biasa melakukan "open house". Prasetyo datang bersama sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta. Namun, tidak ada pembahasan mengenai Raperda. Yang ada, hanya membicarakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

NJOP dimaksud adalah NJOP sebesar Rp20 juta permeter yang akan ditetapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di pulau reklamasi. Aguan merasa keberatan. Selain karena nilainya yang terlalu tinggi, juga karena NJOP tidak bisa ditetapkan sembarangan. Sudah ada tim khusus dan formula baku untuk menetapkan NJOP.

Keberatan itu disampaikan Aguan kepada Prasetyo. Akan tetapi, karena Prasetyo menganggap hal tersebut bukan bidangnya, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menelepon Taufik. Lalu, Prasetyo menyerahkan telepon genggamnya kepada Aguan, agar Aguan bisa berbicara langsung dengan Taufik. (Baca Juga: Ketua DPRD DKI Akui Sering Minta Pendapat Aguan)

Jadi, menurut Aguan, hanya sebatas itu isi pertemuannya dengan sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta. Aguan menegaskan, tidak ada permintaan uang dari anggota DPRD DKI Jakarta. Terlebih lagi, ia tidak merasa keberatan dengan tambahan kontribusi 15 persen yang akan dibebankan kepada pengembang.

Disatroni orang tak dikenal
Walau mencabut keterangan mengenai "deal" Rp50 juta antara Aguan dan anggota DPRD DKI Jakarta, ada beberapa keterangan lainnya yang tidak dicabut Budi Nurwono. Penuntut umum Ali Fikri mengungkapkan, dalam BAP, Budi sempat mengaku dirinya mendapat ancaman secara psikis karena disatroni orang tidak dikenal.

"Pernah. Tapi, bukan alasan itu dia mencabut (BAP). Di suratnya tidak ada menyebutkan dia diancam. Tapi, memang pernah disampaikan (soal ancaman) itu di BAP, bahwa dia pernah didatangi orang. Rumahnya dimasuki orang, dicari-cari orang, bahkan sampai masuk-masuk ke dapur. (Keterangan) Itu tidak dicabut. Yang dicabut hanya dua poin saja," tuturnya.

Namun, Ali berpendapat, alasan pencabutan keterangan dalam BAP yang dilakukan Budi tidak berdasarkan hukum. Nanti, penuntut umum akan menguraikannya dalam surat tuntutan. "Sebab, di BAP-nya dia secara sadar menyampaikan. Itu, dari (BAP) nomor 18 sampai 97 kan sebenarnya jawabannya konsisten," tandasnya.

Dalam kasus ini, Ariesman bersama anak buahnya, Trinanda didakwa menyuap Sanusi sejumlah Rp2,5 miliar. Pemberian uang Rp2,5 miliar dimaksudkan agar Sanusi membantu mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda, serta mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman. Salah satunya, untuk mengubah pasal tentang tambahan kontribusi 15 persen. 
Tags:

Berita Terkait