Cegah Pendanaan Terorisme, PPATK Awasi Aliran Dana ke Yayasan Amal
Berita

Cegah Pendanaan Terorisme, PPATK Awasi Aliran Dana ke Yayasan Amal

Pengawasan tersebut akan dibuatkan aturannya.

Oleh:
ANT | Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Kepala PPATK M Yusuf. Foto: RES
Kepala PPATK M Yusuf. Foto: RES
Salah satu dukungan dari terjadinya tindak pidana terorisme adalah adanya sokongan dana. Untuk mencegah terjadinya perbuatan tersebut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan mengawasi aliran dana yang masuk ke yayasan atau lembaga amal. Cara ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pendanaan terorisme.

"Kami buat juga aturan bagaimana agar yang namanya yayasan bisa diawasi sehingga ada regulatornya," kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf di sela pertemuan Penanggulangan Pendanaan Terorisme (CTF) di Nusa Dua Kabupaten Badung, Bali, Kamis (11/8).

Menurut Yusuf, dengan adanya pengawasan terhadap aliran dana ke yayasan atau lembaga amal maka pergerakan uang bisa diatur dan diaudit. Selama ini, lanjut dia, belum ada yang mengawasi aliran dana ke yayasan karena sifatnya yang sporadis tidak seperti perbankan dan lembaga jasa keuangan yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Untuk itu sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yusuf menjelaskan bahwa pengawasan diambil alih oleh PPATK apabila belum ada regulator yang berwenang mengawasi. Meski begitu, PPATK akan memberikan pencerahan kepada pengelola yayasan agar terhindar dari upaya pihak tidak bertanggungjawab menggunakan yayasan amal sebagai media pendanaan terorisme.

"Ada ratusan ribu yayasan, kami khawatir mereka tidak paham," ujar Yusuf. (Baca Juga: Ini Tren Pendanaan Teroris Hasil Penelusuran PPATK)

PPAT juga meminta apabila yayasan menerima aliran dana maka perlu ada klarifikasi berupa keterangan asal usul dana tersebut. Aliran dana ke yayasan atau lembaga amal merupakan salah satu bentuk modus pendanaan terorisme yang digunakan oleh teroris dalam menjalankan aksinya.

Sebelumnya, PPATK mencium aliran dana dari luar negeri ke sebuah yayasan di Indonesia sebesar Rp7 miliar dari satu orang dengan cara ditransfer ke rekening di Tanah Air. Kemudian, dana itu dipindahkan ke rekening istri dan mengalir ke yayasan amal untuk selanjutnya ditunaikan.

"Masih dipelajari penegak hukum, apa untuk kejahatan terorisme atau amal," tambah Yusuf.

Untuk diketahui, saat ini regulasi yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana terorisme adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perkembangan terakhir, lahir pula UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU Pendanaan Terorisme).

Sebelum UU Pendanaan Terorisme lahir, ketentuan tentang pendanaan terorisme sebenarnya sudah termaktub dalam Pasal 11 Perppu No. 1 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Efektivitas pasal ini bahkan sudah teruji dalam perkara dengan terdakwa Pengurus Harian Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Muhammad Aries Raharjo alias Afief Abdul Madjid alias Afief alias Abu Ridhwan. (Baca Juga: Menakar Efek Jera Donatur Kegiatan Terorisme)

Di tingkat pertama, pada Juni 2015, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Afief empat tahun penjara. Afief dinyatakan terbukti turut memberikan dana sebesar Rp25 juta untuk kegiatan Tadrid Askari di Pegunungan Jalin Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Nangroe Aceh Darussalam. Di tingkat banding, hukuman Afief diperberat menjadi enam tahun.

Pasal 11 Perppu menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.

Bukan hanya berlaku untuk perorangan, Perppu No. 1 Tahun 2002 juga memuatancaman pidana untuk korporasi. Pasal 18 ayat (2) Perppu menyebutkan, pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1 triliun. Sedangkan di ayat (3) disebutkan, korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.

Untuk pidana yang dijerat kepada korporasi, pada UU No. 9 Tahun 2013 diatur lebih rinci jika dibandingkan Perppu No. 1 Tahun 2002. Pasal 8 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2013 menyebutkan, pidana dijatuhkan terhadap korporasi jika tindak pidana terorisme dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dalam korporasi atau dilakukan oleh personel pengendali korporasi dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. (Baca Juga: Mengintip Departemen Khusus Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme OJK)

Dalam ayat (4) disebutkan, pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak Rp100 miliar. Selain pidana denda, korporasi yang terbukti terlibat dalam kegiatan terorisme juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi. Pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, pembubaran korporasi, perampasan aset korporasi untuk negara, pengambilalihan korporasi oleh negara dan pengumuman putusan pengadilan.

Bahkan, UU No. 9 Tahun 2013 juga mengatur bahwa jika korporasi tak mampu membayar pidana denda, diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personel pengendali korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan jumlah yang sama dengan putusan pidana yang dijatuhkan. Jika penjualan harta kekayaan tersebut tak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Tags:

Berita Terkait