Guru Pukul Murid dan Ortu Murid Aniaya Guru, Keduanya Bisa Dijerat Pasal Ini
Berita

Guru Pukul Murid dan Ortu Murid Aniaya Guru, Keduanya Bisa Dijerat Pasal Ini

Guru berpotensi dijerat UU Perlindungan Anak. Sementara, orang tua murid dan anaknya, berpotensi dijerat pasal pengeroyokan dalam KUHP. Kronologi kejadian berbeda antara kedua belah pihak.

Oleh:
Nanda Narendra Putra/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi
Ratusan siswa dan guru dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Makassar menggelar aksi demonstrasi di depan Polsek Tamalate, Jalan Danau Tanjung Bunga, pada Kamis (11/8). Mereka meminta pihak Kepolisian segera menghukum pelaku penganiaya Dahrul, salah seorang guru dari sekolah tersebut.

Kejadian itu terjadi sekitar pukul 10 pagi di lingkungan sekolah SMKN 2 Makassar. Singkat cerita, Dahrul dianiaya oleh Adnan Achmad, orang tua dari salah seorang siswa kelas 11 SMKN 2 Makassar. Penganiayaan terjadi lantaran sang guru melakukan pemukulan kepada sang murid, ‘MAS’ alias Alief. Pemukulan ini dipicu ulah anak didiknya itu sendiri.

Jika dicermati dari segi hukum, berita heboh yang tengah menghiasi dunia pendidikan ini setidaknya ada dua potensi yang dimungkinkan bisa dijerat kedua belah pihak, yakni sang guru dan orang tua murid. (Baca Juga: Kekerasan pada Anak, Ini Saran Ketua MPR ke Pemerintah)

Tindakan pemukulan yang dilakukan Dahrul kepada Alif, berpotensi melanggar ketentuan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain berhak mendapat perlindungan dari perlakuan, salah satunya tindak penganiayaan.

UU menyebutkan, yang dimaksud ‘penganiayaan’ merupakan kesengajaan menyebabkan rasa sakit atau luka. Tindakan yang menyebabkan rasa sakit misalnya bisa diakibatkan salah satunya dengan memukul. Jika benar Dahrul telah memukul Alief pagi itu, maka sudah masuk dalam kategori penganiayaan. Dahrul berpotensi melanggar Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 lantaran melakukan kekerasan terhadap Alief yang masuk termasuk sebagai anak. Sanksinya, dapat diancam dengan pidana penjara atau denda hingga puluhan juta rupiah.

“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00,” demikian bunyi Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014.

Contoh nyata, kasus serupa pernah terjadi di wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Padang Sidempuan. Terdakwa, Hotma Tua Pasaribu divonis hakim dengan pidana penjara lima bulan dan 10 hari lantaran terbukti melakukan pemukulan terhadap anak terdakwa yang masih berumur 13 tahun menggunakan tangannya sendiri. Akibat pemukulan itu, korban mengalami luka dan berdarah. Dalam putusan Nomor:89/Pid.Sus/2015/PN.Psp, hakim mempertimbangkan Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 dan menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan anak.

Sementara, tindakan yang dilakukan oleh Adnan juga berpotensi melanggar ketentuan Pasal 170 KUHP. Sebagaimana banyak diberitakan, Adnan ‘membalas’ perlakuan Dahrul dengan pemukulan yang juga dilakukan bersama-sama dengan Alief. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal yang sama.

Pasal 170 ayat (1) KUHP sendiri berbunyi “Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.” (Baca Juga: Jaksa Harus Buktikan Unsur Kebersamaan dalam Kasus Pengeroyokan)

Kronologi lengkapnya, Dahrul dianiaya oleh orangtua salah satu murid yang dia tegur, Alief. Menurut Dahrul, Alief sebelumnya telah melanggar aturan jam belajar karena dia hilir-mudik ketika masih dalam jam pelajaran. Setelah ditegur, Alief malah membalas teguran gurunya itu dengan makian disertai tendangan ke pintu ruang kelas.

Sementara, dari versi Alief, insiden pemukulan berawal ketika Alief ditegur Dahrul yang ikut mata pelajaran gambar teknik. Saat itu, Alief tidak membawa alat gambar dan minta izin untuk meminjam namun tidak mendapatkannya. Lalu, Alief kembali ke ruangan tapi malah dimarahi oleh Dahrul. Saat itulah, kata Alief, sang guru memukulnya tepat di bagian muka beberapa kali sampai terjatuh.

Setelah insiden itu, Alief kemudian mengadukan sang guru kepada ayahnya dan mengaku telah dianiaya oleh Dahrul hingga mengakibatkan memar di pipi kiri dan batang hidupnya. Adnan Achmad, ayah Alief yang juga merupakan pengurus salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Laskar Merah Putih mendatangi sekolah untuk mencari Dahrul.

Versi Dahrul, Adnan secara tidak sengaja berpapasan dengannya dan melakukan pemukulan kepada pak guru, dengan dibantu juga oleh Alief. Namun, versi Adnan, Dahrul yang sudah ada di halaman sekolah langsung menemui Adnan. Saat itu, Adnan langsung menanyakan penyebab anaknya dipukul tapi malah dijawab dengan perkataan yang tidak baik. Akibatnya, Adnan spontan melayangkan tinju ke muka Dahrul hingga mengenai hidungnya sampai berdarah. Sementara Alief, kata Adnan, diakuinya turut mengeroyok gurunya itu.

Bentuk PP Perlindungan Guru
Terpisah, Ketua Fraksi PPP DPR RI, Reni Marlinawati mengatakan kekerasan fisik maupun upaya kriminalisasi terhadap guru akhir-akhir ini menjadikan preseden yang tidak baik bagi profesi ini. menurutnya, marwah guru sebagai teladan dan panutan bisa menjadi hilang akibat kondisi seperti itu. Ia berharap, pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyudahi kriminalisasi dan tindak kekerasan terhadap setiap guru.

Berkenaan dengan hal itu, Reni mengingatkan bahwa perlindungan terhadap profesi guru sudah diatur secara tegas dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 39 ayat (2) aturan tersebut menyatakan bahwa guru berhak mendapat perlindungan meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Dalam ayat selanjutnya, yang dimaksud dengan perlindungan hukum mencakup perlindungan hukum dari tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidatif, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

Sayangnya, praktik yang terjadi di lapangan belum sepenuhnya sejalan dengan nafas aturan tersebut. Makanya, Reni mendorong agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnvian, Jaksa Agung HM Prasetyo, KPAI, organisasi profesi guru, serta stakeholder lainnya agar bertemu untuk menyamakan persepsi dan pandangan atas persoalan serupa untuk menegaskan kehadiran negara dalam memberikan perlidungan kepada guru.

"Oleh karena itu, saya mendorong pemerintah untuk menerbitan peraturan pemerintah (PP) terkait perlindungan guru sebagai tindak lanjut dari Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," tukasnya.
Tags:

Berita Terkait