17 Kasus Hukum yang Bikin ‘Geger’
Edisi Khusus Kemerdekaan:

17 Kasus Hukum yang Bikin ‘Geger’

Kebanyakan, kasus tersebut ditangani oleh KPK

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
Perhatian publik tengah tertuju pada sidang perkara pembunuhan berencana atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso. Upaya mengungkap fakta di balik kematian Wayan Mirna Salihin akibat ‘kopi sianida’ itu kini memasuki agenda pemeriksaan atas sejumlah saksi dan ahli. Saksi dari kafe Olivier, saksi kunci Hani Boon Juwita, hingga ahli IT telah didengarkan keterangannya di hadapan majelis hakim Kisworo, Partahi Tulus Hutapea, dan Binsar Gultom. Kini, publik masih sabar menunggu bagaimana akhir dari drama persidangan yang telah digelar sebanyak belasan kali itu.

Sebetulnya, sangat banyak kasus dalam persidangan yang menarik untuk diikuti. Menarik, bisa diukur dari berbagai hal, bisa karena perkara itu belum pernah ada sebelumnya atau perkara itu melibatkan orang-orang penting pada insitusi publik atau pihak swasta tertentu. Kebanyakan, kasus yang mencuat dan menarik perhatian memang yang melibatkan tokoh dan petinggi bangsa.

Hukumonline mencoba menelusuri sejumlah kasus yang mungkin sempat ‘geger’ pada masa itu. Tentu, ukuran geger ini maksudnya terbatas pada kasus yang masuk kategori ‘mega skandal’ yang melibatkan tak cuma satu aktor, melainkan oknum dari pihak penegak hukum serta aktor-aktor penting lainnya. Penasaran? Yuk simak sejumlah kasus yang menarik dan membuat geger versi hukumonline:

1. Kasus Korupsi ‘Pertama’ KPK, Abdullah Puteh
Mantan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh adalah kasus pertama sejak KPK dibentuk Desember 2003 silam. Kasus ini menjadi sorotan karena menjadi kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sekira tahun 2004. Bahkan, kasus itu menjadi satu-satunya kasus yang disidangkan kala itu. (Baca Juga: Terbukti Korupsi, MA Tolak Kasasi Abdullah Puteh)

Singkatnya, peran Puteh dalam kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia mengantarkan ia ke penjara. Ia sebelumnya juga sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lewat argumen yang dipakai saat itu adalah tidak sahnya penyidikan yang dilakukan KPK lantaran Pengadilan Tipikor saat itu belum terbentuk. Tepat 13 September 2015, MA menolak kasasi yang diajukan oleh Puteh namun menerima permohonan kasasi yang diajukan penuntut umum sekaligus membatalkan putusan pengadilan korupsi tingkat banding No. 01/TIK/TPK/2005/PTDKI tanggal 15 Juni 2005.  Kasasi tersebut diajukan oleh keduanya namun dengan pertimbangan yang berbeda.

2. Kasus Anak ‘SR’ dan Gugatan Kepolisian
Tindakan sewenang-wenang berujung penganiayaan aparat kepolisian saat menangani perkara anak usia 15 tahun, ‘SR’ alias Koko cukup mencuri perhatian publik. Sekira 8 Juni 2009 silam, Koko ditangkap aparat dari Polsek Sektor Bojong Gede dan dituduh mencuri perangkat elektronik. Koko bukanlah pelaku yang sebenarnya lantaran beberapa hari setelah penangkapan itu, pelaku sebenarnya telah tertangkap dan menyatakan bahwa Koko tidak terlibat sama sekali.

Beruntung, Putusan PN Cibinong No.2101/Pid.B/2009/PN.CBN pada 10 Agustus 2009 membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dan meminta agar memulihkan hak-hak terdakwa secara kedudukan, harkat, serta martabat. Putusan itu sempat mendapat perlawan dari Kejari Cibinong dengan mengajukan kasasi. Hasilnya, 20 Januari 2010 hakim agung menolak kasasi tersebut. Koko dan keluarganya tidak tinggal diam atas apa yang terjadi.

Melalui LBH Jakarta, pada 29 februari 2012 keluarga Koko menggugat secara perdata ke PN Cibinong. Sebagai catatan, gugatan perdata kepada pihak kepolisian merupakan yang pertama kali. Sayangnya, PN Cibinong lewat putusan No. 36/Pdt.G/2012/PN.Cbn menolak gugatan tersebut. Namun, langkah berani dan pertama tersebut menjadi preseden ketika Kepolisian melakukan tindakan sewenang-wenang saat menangani perkara. Buktinya, gugatan perdata serupa di Padang, berhasil dikabulkan dan pihak Kepolisian mesti membayar ganti rugi Rp 100.700. (Baca Juga: Polisi Pelaku Penyiksaan Bisa Digugat, Ini Preseden Putusannya)

3. ‘Kemenangan’ Prita Mulyasari
Senin, 17 Septembar 2012 silam majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita Mulyasari dari seluruh dakwaan alias bebas murni. Melalui putusan PN Tangerang Nomor:1269/PID.B/2009/PN.TNG, majelis hakim menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Prita dengan emailnya bukan termasuk pengertian menista.

Perjalanan kasus Prita cukup panjang. Awalnya, Prita diseret ke pengadilan atas tuduhan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Tangerang gara-gara mengeluhkan pelayanan buruk RS Omni Internasioanal dengan menyebarkan sebuah email. Alhasil, Majelis PN Tangerang membebaskan Prita pada 2009, tetapi jaksa mengajukan upaya hukum kasasi dan kasasinya dikabulkan MA. (Baca Juga: Akhirnya, MA Bebaskan Prita Mulyasari)

Selain perkara pidana, gugatan perdata juga dilayangkan RS Omni Internasional. MA menolak gugatan perdata Omni tersebut pada 29  September 2010 yang diputus oleh Ketua MA kala itu Harifin A Tumpa. MA membatalkan putusan PN Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang mengabulkan gugatan Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi atas perbutan pencemaran baik yang dinyatakan terbukti dilakukannya. Kasus ini memantik aksi solidaritas koin peduli prita yang berasal dari hasil sumbangan masyarakat, mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, serta posko yang dibuka di berbagai daerah. Sumbangan senilai Rp825.728.550 juta terkumpul. Konser koin untuk keadilan Hard Rock Café 20 Desember 2009. Empat kali lipat denda yang harus dibayar prita ke Omni sebesar Rp204 juta. (Baca Juga: Putusan Pengadilan ‘Landmark’ Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE)

4. Kasus Antasari Azhar
Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar divonis oleh hakim selama 18 tahun lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain pada 14 Maret 2009. Kasus ini menjadi perhatian banyak kalangan selain karena Antasari merupakan pimpinan lembaga yang sedang dinanti-nantikan kinerjanya, sekaligus adanya dugaan rekayasa kasus untuk menjegal karier Antasari.

Saat masih menjabat, Antasari memang dikenal cukup berani untuk menindak siapapun termasuk saat berupaya membongkar skandal di balik kasus Bank Century dan IT KPU yang tendernya dimenangkan oleh perusahaan milik Hartati Murdaya. Singkat cerita, majelis hakim memvonis Antasari selama 18 tahun, lebih rendah dibanding tuntutan pidana mati yang diajukan oleh penuntut umum. (Baca Juga: Antasari Azhar Diganjar Vonis Paling Berat)

5. Kasus Susno Duadji
Perseteruan KPK dan Polri berangkat dari penyadapan yang dilakukan KPK terhadap mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji akibat diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna karena berhasil memaksa Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum akhirnya ditutup.

Dari kasus situ, muncul pertama kali istilah “cicak vs buaya” atas pernyataan yang dilontarkan Susno kepada awak media. Selain itu, dari kejadian itu pula akhirnya pada 2009 Polri melakukan ‘kriminalisasi’ kepada pimpinan KPK. Kasus yang menimpa dua Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menjadi skandal hukum terbesar saat itu. (Baca Juga: Drama Cicak vs Buaya Warnai Perjalanan Polri di Tahun Kerbau)

Kasus itu berangkat dari rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang. Mereka yang diduga terekam suaranya adalah Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto, Anggota Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) I Ketut Sudiharsa, dan beberapa penyidik Mabes Polri. Sedangkan nama Kabareskrim Susno Duadji, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat tersebut dalam percakapan itu. (Baca Juga: Rekayasa Kriminalisasi Bibit-Chandra Benar-Benar Terkuak)

Anggodo merupakan adik tersangka buron korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo. Kasus ini sempat diselidiki oleh Kepolisian dan kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, karena alasan sosiologis, Kejaksaan Agung menghentikan perkara inidengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).  Tak terima dengan terbitnya SKPP itu, Anggodo Widjojo selaku pihak ketiga yang berkepentingan dalam posisinya sebagai pelapor dugaan tindak pidana Bibit-Chandra mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Baca Juga: Presiden Bentuk Tim Independen atas Kasus Bibit-Chandra)

Majelis hakim mengabulkan praperadilan tersebut dan menyatakan penuntutan Bibit-Chandra harus diteruskan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Lalu, pihak Kejagung mengajukan PK terhadap putusan itu.Akhirnya, Kejaksaan Agung melakukan Seponeer (lazim dikenal deponeer) perkara Bibit-Chandra, meski dengan catatan. Kejaksaan Agung masih akan mengevaluasi putusan PK jaksa atas pembatalan SKPP sebelum mengambil keputusan akhir. (Baca Juga: Lima Akademisi Jadi ‘Sahabat Pengadilan’ Kasus Bibit-Chandra)

6. Rekening Gendut Gayus Tambunan
‘Nyanyian’ Susno Duadji tentang dugaan mafia dalam kasus Gayus Tambunan, pegawai pajak yang disangka melakukan korupsi, penggelapan, dan pencucian uang. Ketika disidangkan di PN Tangerang, pasal tentang korupsi tak ada dalam surat dakwaan. Majelis hakim pun membebaskan Gayus dari segala dakwaan. (Baca Juga: Kasus Gayus Terulang Lagi di Ditjen Pajak)

Untuk diketahui, Gayus terjerat dalam empat kasus yang berbeda antara lain gratifikasi, penyuapan dan pencucian uang. Ia juga diganjar hukuman karena menggelapkan pajak. Lalu perkara korupsi yang melibatkan sejumlah perwira Polri diantaranya Komjen Susno Duadji. Ditambah lagi hukuman penjara penggelapan paspor di PN Tangerang. (Baca Juga: Bola Panas ‘Nyanyian’ Susno Duaji)

7. Kasus Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo
Kasus yang menimpa bekas kepala korps lalu lintas Polri ini banyak dikutip setelah calon Kapolri Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Serupa dengan Gunawan, Djoko Susilo yang terjerembab lantaran kasus korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi itu sempat melawan KPK yang kemudian memicu perang “cicak vs buaya” Jilid II.

Kasus ini menjadi ‘janggal’ ketika KPK mengumumkan status tersangka Djoko Susilo, tiba-tiba Polri juga mengumumkan bahwa mereka juga sedang menyidik kasus yang sama dengan lima tersangka versi mereka. Dari sana timbul ‘rebutan’ kewenangan menyidik kasus korupsi tersebut. Keduanya sama-sama berkeyakinan paling berwenang memprosesnya.

Sekira Oktober 2012, aparat Kepolisian mengepung gedung KPK untuk menangkap salah satu penyidik KPK, Kompol Novel Baswedan karena menjadi bagian penting dalam mengungkap kasus Djoko Susilo. Alasannya karena saat Novel bertugas di Bengkulu, ia pernah melakukan penganiayaan berat kepada para tersangka pencuri sarang burung walet.

Presiden Susilo Bambang Yudhowono akhirnya menengahi kedua institusi dan menetapkan sejumlah poin diantaranya kasus Djoko Susilo ditangani KPK dan kasus Novel dari segi waktu dan cara tidak tepat dilakukan saat itu. Akhirnya, Djoko Susilo diputus bersalah sampai di tingkat Kasasi MA dan dihukum pidana penjara selama 18 tahun.

8. Skandal SKK Migas
Penangkapan Rudi dianggap sebagai sebuah pukulan mengingat mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) ini dikenal sebagai pribadi yang bersih dan jujur. Nyatanya Rudi menerima suap dari Kernel Oil senilai AS$ 400 ribu. Majelis hakim yang diketuai Amin Ismanto menghukum Rudi dengan pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan.

Ia terbukti bersalah melakukan pencucian uang bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu primair pertama, Pasal 12 huruf a, dakwaan kedua, Pasal 11 UU Tipikor, dan dakwaan ketiga, Pasal 3 UU TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Terhadap putusan itu, Rudi tidak mengajukan banding. (Baca Juga: Rudi Rubiandini: Saya Menyesal dan Malu)

9. Kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar
Senin 16 Juni 2014, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis hukuman seumur hidup dan denda Rp10 miliar karena menerima hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan tindak pidana pencucian uang. Catatan hukumonline, telah menerima uang sejumlah Rp47,78 miliar plus AS$500 ribu dari sejumlah pihak sejak tahun 2010. Untuk sengketa Pilkada Gunung Mas, Lebak, Palembang, Lampung Selatan, dan Empat Lawang dan Jawa Timur. Selain itu, Pilkada Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.

Atas putusan itu, akhirnya Akil mengajukan kasasi namun MA menolak permohonan tersebut sehingga hukuman Akil tetap seumur hidup. Pertimbangan MA saat itu, kata anggota Majelis Hakim Profesor Krisna Harahap menjelaskan bahwa sebagai seorang hakim MK, sudah semestinya berindak sebagai negarawan sejati yang steril dari perbuatan tindak pidana korupsi. (Baca Juga: Divonis Seumur Hidup, Akil Akan Banding Sampai ke Surga)

Selain itu, karier sebagai Ketua MK juga berakhir setelah Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK) menjatuhkan sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat dikarenakan melanggar beberapa prinsip etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sejak 11 November 2013. (Baca Juga: MK Tolak Permohonan Akil Mochtar)

10. Gubernur Atut Chosiyah
Ratu asal Banten ini sedang menancapkan kekuasaannya yang menggurita di Provinsi Banten ketika KPK mengubah statusnya menjadi tersangka. Sang gubernur terjungkal kasus pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten. Politisi Golkar ini diperberat hukumannya oleh MA dari empat tahun menjadi tujuh tahun penjara. (Baca Juga: Ratu Atur Didakwa Suap Akil)

Tak cuma itu, adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan juga terlibat dalam kasus yang sama. Wawan juga terlibat dalam kasus sengketa pilkada Lebak dan dugaan tindak pidana pencucian uang dugaan korupsi alat kesehatan. Dalam kasus sengketa pilkada Lebak, wawan divonis tujuh tahun penjara (Baca Juga: Ini 10 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014)

11. Skandal BI: Miranda S. Goeltom
Perempuan yang sudah malang melintang di Bank Indonesia ini resmi menjadi tersangka pada Januari 2012 dalam kasus suap cek pelawat buat anggota DPR. Duit tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Miranda kemudian divonis menginap tiga tahun di balik jeruji besi. (Baca Juga: Perempuan-Perempuan di Pusaran Korupsi)

Selain Miranda, kasus yang berkaitan dengan BI adalah kasus bekas Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Dia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI.  Ia divonis tiga tahun penjara. Selain itu, kasus yang sama juga menjerat besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan yang terjerat dalam kasus yang sama dengan Burhanuddin Abdullah. Pohan yang kala itu menjabat sebagai Deputi Gubernur BI divonis penjara tiga tahun. (Baca Juga: Majelis Kasasi Kurangi Hukuman Aulia Pohan cs)

12. Jaksa Urip Tri Gunawan
Urip Tri Gunawan tertangkap tangan oleh KPK saat menerima duit AS$610 ribu dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim. Urip divonis 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita mendapat vonis 5 tahun penjara. Saat ditangkap, Urip masih aktif sebagai jaksa untuk kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. (Baca Juga: Ajukan PK, Urip Tri Gunawan Ungkap Tiga Novum)

13. Skandal Petinggi Partai Demokrat
Nazaruddin ditangkap saat menjabat Bendahara Umum Partai Demokrat. Ia terjerat kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games. Setelah sempat melarikan diri, Nazaruddin akhirnya dibekuk di Cartagena, Kolombia. Dalam perkembangan kasusnya, pria yang kemudian divonis tujuh tahun penjara ini ikut menyeret nama-nama yang terlibat. (Baca Juga: Icip-Icip Duit Nazar, Menteri Hingga Anggota DPR Disebut Kecipratan)

Salah satunya, Ketua Umum Partai Demokrat kala itu, Anas Urbaningrum. Penangkapan terhadap Anas antara lain berhasil berkat ‘nyanyian’ Nazaruddin. Anas divonis delapan tahun penjara oleh pengadilan. (Baca Juga: Jelang Vonis, KPK Ingatkan Anas Soal Gantung di Monas)

14. Kartel SMS KPPU
Masih ingat saat masih dikenakan tarif sms Rp350 saat berkirim pesan? Jika sadar, tarif itu terus dibebankan kepada konsumen selama bertahun-tahun. Tapi, sekira tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus sejumlah operator mematok tarif tinggi yang dikoordinir oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) lewat perjanjian kerja. Temuan penyidik KPPU, harga kompetitif layanan SMSoff net mestinya Rp114. Tetapi, dalam perjanjian kerjasama interkoneksi antar operator dipatok tidak boleh lebih rendah dari Rp250-350.

Sesuai proporsi dan pangsa pasar operator tersebut selama empat tahun praktik kartel SMS berlangsung, Telkomsel mengakibatkan kerugian konsumen terbesar yang mencapai Rp2,1 triliun. Disusul berturut-turut XL sebesar (Rp346 miliar), Telkom (Rp173,3 miliar), Bakrie Telecom (Rp62,9 miliar), Mobile-8 (Rp52,3 miliar), dan Smart (Rp0,1 miliar). Berdasarkan putusan tersebut, KPPU menghukum sanksi denda operator XL dan Telkomsel masing-masing senilai Rp25 miliar, Telkom (Rp18 miliar), Bakrie Telecom (Rp4 miliar), Mobile-8 Telecom (Rp5 miliar).

Atas keputusan KPPU itu, para operator keberatan dan mengajukan banding terhadap KPPU ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di PN Jakarta Pusat, majelis hakim membalik keadaan dengan membatalkan putusan KPPU alias memenangkan operator. Selanjutnya KPPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan tersebut dan memenangi kasasi tersebut sebagaimana tertuang dalam Putusan MA perkara No. 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 itu dijatuhkan pada 29 Februari 2016. (Baca Juga: Putusan Kartel SMS Diperkuat MA, Ini Respon KPPU)

15. Latah ‘Sarpin Effect
Ditetapkan sebagai tersangka, mantan calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengajuan permohonan praperadilan tersebut menuai pro dan kontra. Pasalnya, Pasal 77 KUHAP menyatakan penetapan tersangka bukan merupakan objek praperadilan. (Baca Juga: Maqdir Ismail, Advokat ‘Pendobrak’ Objek Praperadilan)

Selama tujuh hari persidangan berlangsung, bukti dokumen, saksi, dan ahli dihadirkan, baik dari BG sebagai pemohon juga dari pihak KPK sebagai termohon. Penjagaan ketat juga dilakukan oleh kepolisian di sekitar lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian, hakim tunggal PN Jaksel Sarpin Rizaldi mengabulkan sebagian permohonan praperadilan BG. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan. Dia menyatakan bahwa penetapan BG sebagai tersangka tidak sah. (Baca Juga: MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan)

Setelah Sarpin menyatakan bahwa penetapan tersangka juga merupakan objek praperadilan dan menyatakan Budi Gunawan tidak sah dan tidak sesuai dengan hukum, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dibanjiri oleh permohonan praperadilan. Mereka yang mengajukan praperadilan antara lain, Jero Wacik vs KPK, Dahlan Iskan vs KPK, Hadi Purnomo vs KPK, Ilham Arief Sirajudin vs KPK, Novel Baswedan vs Polri, OC Kaligis vs KPK, Farhat Abbas vs Polri, Farhat Abbas vs Kejaksaan, Suryadarma Ali vs KPK, Suroso Atmo Martoyo vs KPK, Rusli Sibua vs KPK, dan Sutan Bhatoegana vs KPK.

16. ‘Kongkalikong’ OC Kaligis 
MA memperberat hukuman OCK menjadi 10 tahun penjara yang sebelumnya pada pengadilan tingkat banding dihukum 7 tahun dan 5,5 tahun di tingkat pertama. Atas putusan tersebut, dipastikan pihak OCK mengajukan PK. (Baca Juga: Ini Rekam Jejak Perkara OC Kaligis vs KPK)

Untuk diketahui, OC Kaligis bersama-sama Gary, Gatot, dan Evy diputus bersalah karena terbukti memberikan uang sejumlah Sing$5000 dan AS$15000 kepada Tripeni, AS$5000 kepada Dermawan, AS$5000 kepada Amir, serta AS$2000 kepada Syamsir. Pemberian uang itu dimaksudkan agar majelis hakim PTUN Medan mengabulkan gugatan yang diajukan OC Kaligis dkk. (Baca Juga: Advokat-Advokat Nakal di Pusaran Korupsi)

17. Gugatan Ceban dan Seceng Advokat David Tobing
Advokat David ML Tobing menggugat PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) senilai ceban alias Rp10 ribu lantaran perusahaan pengelola parkir itu mengenakan tarif yang dinilai tidak sesuai dengan aturan pada 5 Februari 2010. Aturan yang dimaksud adalah Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2004 tentang Biaya Parkir pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir untuk Umum di Luar Jalan di Propinsi DKI Jakarta.

David meminta majelis hakim menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian Rp10 ribu dengan alasan jumlah itu merupakan selisih biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk tarif parkir yang tidak sesuai aturan. Gugatan serupa juga pernah dilemparkannya ke pihak secure parking dan dikenal dengan gugatan ‘seceng’. (Baca Juga: MA Menangkan Gugatan Pemilik yang Kehilangan Kendaraan)
Tags:

Berita Terkait