Masuk Tidaknya Living Law dalam RKUHP Masih Menuai Perdebatan
Berita

Masuk Tidaknya Living Law dalam RKUHP Masih Menuai Perdebatan

Dapat dijadikan alasan pembenar di pengadilan, namun pemberian sanksi terkait pelanggaran adat diserahkan mekanismenya dengan hukum adat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di parlemen masih terus berlanjut. Meski telah merampungkan pembahasan Buku I RKUHP, Panja RKUHP di Komisi III DPR masih terus menjaring masukan dari berbagai kalangan. Satu hal yang masih mengalami perdebatan panjang terkait dengan hukum yang hidup di masyarakat (living law/hukum adat) belum menemui titik temu, masuk tidaknya dalam RKUHP.

Hakim Agung Andi Samsan Nganro berpandangan living law atau hukum adat yang hidup di masyarakat banyak terdapat di nusantara. Terlepas banyaknya hukum adat untuk dapat tidaknya masuk dalam RKUHP, maka diperlukan jalan tengah. Misalnya, hukum yang hidup di tengah masyarakat tetap dapat dijadikan alasan pembenar di pengadilan. Sebab, bila tetap diakomodir berbagai hukum adat yang berada di bumi nusantara terlampau banyak.

Dengan menjadikan alasan pembenar adanya hukum adat dan menguatkan di pengadilan, maka terkait dengan sanksi hukuman adat diselesaikan dengan hukum yang berlaku di tengah masyarakat. “Jangan lagi dijadikan kaidah penafsir lagi,” ujarnya dalam seminar yang digelar Komisi III DPR bertajuk ‘Evaluasi dan Pembaharuan Hukum Nasional’ di Gedung MPR, Selasa (23/8).

Ia mengambil contoh bila seorang hakim bertugas di satu daerah yang bukan berasal dari daerah tempatnya bertugas, boleh jadi akan sulit beradaptasi dengan penerapan hukum adat yang berlaku. “Oleh sebab itu hukum adat diakomodir, tapi jangan dijadikan untuk menjatuhkan hukuman, tapi berkaitan dengan pelanggaran hukum adat diselesaikan dengan hukum adat,” saran Andi Samsan.

Komisioner Komnas HAM, Sandiyati Moniaga, berpandangan pengakuan terhadap hukum yang hidup di tengah masyarakat mesti mengakui asas legalitas. Oleh sebab itu, aturan hukum yang hidup di tengah masyarakat mesti jelas dan terukur. Setidaknya, dituangkan dalam lembaran kertas menjadi tertulis.

Penerapan hukum adat di suku Baduy misalnya, kata Sandiyati Moniaga, dilakukan mesti sesuai data. Artinya, hukum adat yang berlaku mesti valid penerapan hukumannya tanpa diskriminasi. Oleh sebab itu, hukum adat yang masih berkembang di tengah masyarakat pun mesti didata dan melalui pengawasan dengan berbasis data. (Baca Juga: Pasal Living Law di RKUHP Berpotensi Disalahgunakan Aparat Penegak Hukum)

Pengawasan terhadap penerapan hukum adat perlu dilakukan agar tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit pemangku adat. Hal itu dilakukan lantaran aparat penegak hukum belum dapat menjangkau ke pelosok. “Hal ini perlu. Karena UUD dan beberapa peraturan mengakui masyarakat hukum dan hukum adat. Jadi supaya tidak multiinterpretasi,” ujarnya.

Akademisi Leiden University, Prof. Pinar Fatma Olcer, berpandangan asas legalitas tak boleh dikurangi penerapannya. Dalam sistem hukum eropa continental, belakangan mereka yang menganut sistem tersebut mulai mengarah mencatat hukum secara tertulis. Namun, memang terdapat ruang dalam rangka melakukan penyempurnaan agar sesuai dengan kondisi kekinian. Hukum adat dapat dimasukan ke dalam RKUHP sepanjang memiliki kerangka hukum pidana.

Keberagaman hukum yang bekembang di tengah masyarakat di Indonesia mesti dihormati oleh hukum pidana. Perihal memasukkan seluruhnya atau sebagian hukum adat dalam hukum pidana nasional, mesti diberikan ruang terlebih dahulu kepada daerah masing-masing. Misalnya, ke depan dapat membuat buku hukum pidana khusus. (Baca Juga: Pengadilan Adat Papua, Bentuk Pengakuan Terhadap Living Law)

“Jadi cara-cara teknis supaya hukum adat bisa diambil aturan hukum di titik tertentu. Hukum pidana ini supaya bagaimana kita membatasi hak asasi manusia. Jadi ini adalah hal yang sulit untuk dijawab,” ujarnya.

Ketua Panja RKUHP Benny K Harman mengatakan, eksistensi hukum adat dalam pembahasan RKUHP memang terbilang pelik pembahasannya. Panja ketika melakukan pembahasan dengan pemerintah pun mengalami perdebatan sengit. Menurutnya hukum adat ketika tidak mengandung asas legalitas maka akan membuat penegak hukum dapat mengkriminalisasi

“Tetapi kalau diakomodir hukum adat apakah harus membuat peradilan adat,” pungkas Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Demokrat itu.

Tags:

Berita Terkait