Hasil Riset: Pengujian UU Advokat Butuh Waktu Paling Lama
Utama

Hasil Riset: Pengujian UU Advokat Butuh Waktu Paling Lama

Seharusnya batasan waktu pengujian Undang-Undang diperjelas. Hakim diminta fokus pada pekerjaan.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Salah satu sesi sidang UU Advokat di MK. Foto: HUMAS MK
Salah satu sesi sidang UU Advokat di MK. Foto: HUMAS MK
Tiga belas tahun sudah Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap UUD. Selama kurun waktu itu Mahkamah telah menghasilkan 861 putusan pengujian. Sebanyak 194 permohonan dikabulkan, 298 ditolak, 277 tidak diterima, dan 92 ditarik kembali.

Bagaimana MK memproses ratusan permohonan pengujian itu? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Sebuah hasil riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif yang relevan menjawab pertanyaan itu telah dilansir di Jakarta, Selasa (23/8). Kode Inisiatif melakukan kajian terhadap proses penanganan perkara pengujian UU di Mahkamah Konstitusi sepanjang periode 2003-4 Agustus 2016.

Dari hasil kajian Kode Inisiatif terungkap sejumlah fakta. Misalnya, pengujian UU Advokat  adalah yang paling membutuhkan waktu lama, yakni 27 bulan. Setelahnya, UU Minerba yang membutuhkan waktu 25 bulan. Waktu 27 dan 25 bulan itu disampaikan Veri Junaidi, Ketua Kode Inisiatif, tanpa menjelaskan nomor permohonan. Berdasarkan catatan hukumonline, UU Advokat sudah sering dimohonkan judicial review. “Itu (pengujian UU Advokat) yang terkait multibar,” jelasnya kepada hukumonline.

Tak semua perkara diputus dalam hitungan tahun. Ada juga perkara yang diputus dengan cepat, dalam hitungan hari. Berdasarkan kajian Kode Inisiatif, MK membutuhkan waktu rata-rata 6,5 bulan untuk memutus suatu perkara pengujian Undang-Undang. Khusus untuk pengujian UU yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi sendiri, ada 32 permohonan, dengan rata-rata menghabiskan waktu 5,5 bulan. Kode Inisiatif menilai ada ketidakpastian batas waktu penanganan perkara. Ketidakpastian ini bisa menimbulkan persoalan bagi pencari keadilan.

Selain itu, Veri Junaidi, mengatakan sejak 2003-2016 tren penanganan perkara di MK terus meningkat jangka waktunya, dari 3,5 bulan menjadi 10,5 bulan untuk menyelesaikan 1 pengujian Undang-Undang. Tapi hal itu tidak berlaku untuk penanganan sengketa Pemilu di MK baik itu Pilkada, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil karena ada batas waktu yang ditentukan.

Sejak 2009 jangka waktu penyelesaian pengujian Undang-Undang di MK prosesnya semakin lama daripada periode sebelumnya. Veri berpendapat bisa jadi sejak tahun itu MK menangani sengketa Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil. Lalu, ada kasus yang menjerat Ketua MK, Akil Mochtar. Kejadian semacam itu diyakini Veri ikut mempengaruhi kecepatan MK memproses pengujian Undang-Undang.

“Kami usulkan sebaiknya ada regulasi terkait batas waktu maksimal penanganan pengujian Undang-Undang di MK. Idealnya itu diatur dalam UU, tapi dalam waktu dekat MK bisa menerbitkan Peraturan MK,” kata Veri.

Pengamat Hkum Tata Negara, Refly Harun, mengusulkan batas waktu maksimal pengujian Undang-Undang di MK adalah 6 bulan. Jangka waktu ini, kata dia, masuk akal untuk memproses perkara yang diajukan pemohon. Adanya batas waktu itu memudahkan pencari keadilan untuk menghitung kapan MK menerbitkan putusan.

Refly berpendapat cepat atau lambatnya MK memproses pengujian Undang-Undang juga dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik yang berkembang di masyarakat. Ia mencontohkan putusan MK tertanggal 6 Juli 2009 yang intinya membolehkan pemilih yang belum teregistrasi (unregistered voters) untuk bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu.

Refly mengingat MK memutus perkara itu dengan cepat. Sebagai pemohon, Refly memaparkan permohonannya itu di persidangan MK sekitar pukul 10.00. Sore harinya MK sudah menerbitkan putusan. Ia menjelaskan ketika itu eskalasi sosial politik di masyarakat mengenai isu terkait pemilih yang belum teregistrasi sangat kuat. Ia yakin hal itu mempengaruhi MK untuk memutus perkara dengan cepat. “Putusan MK itu tidak murni mengacu soal hukum saja, tapi isu non hukum juga bisa digunakan untuk pertimbangan putusan,” kata Refly.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Fritz Edward Siregar, menegaskan agar hakim konstitusi fokus menjalankan tugas utamanya. Ia mengkritik hakim MK yang sering melakukan kegiatan di luar tugas utamanya seperti berkunjung ke daerah untuk melakukan sosialisasi atau bahkan tak menghadiri sidang. Ini turut menurunkan performa MK.

Praktisi hukum, Taufik Basari, menilai lamanya MK menangani pengujian Undang-Undang karena dia dilimpahi tugas untuk mengurus sengketa Pemilu seperti Pilkada. Imbasnya, beban yang dipikul semakin berat sehingga MK lebih lama memutus perkara. Selain itu kualitas putusannya dari tahun ke tahun dirasakan menurun.

Guna membenahi itu Taufik mengusukan agar segera dibentuk pengadilan khusus yang menangani perkara Pemilu. Dengan begitu diharapkan bisa mengurangi beban sehingga MK bisa fokus menjalankan tugas utamanya. “Ini pentingnya pengadilan khusus Pemilu untuk segera dibentuk,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait