Rokok Langgar UU Perlindungan Konsumen? Ini Penjelasan YLKI
Berita

Rokok Langgar UU Perlindungan Konsumen? Ini Penjelasan YLKI

Bentuk kepedulian atau perlindungan YLKI terhadap perokok adalah agar tidak makin terperosok oleh dampak negatif rokok.

Oleh:
Mohamad Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
ilustrasi rokok. Foto: Sgp
ilustrasi rokok. Foto: Sgp
Wacana kenaikan cukai rokok terus mencuat belakangan. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Maklum, jika tarif cukai rokok dinaikkan maka harga rokok akan turut terkerek naik. Salah satu pihak yang ingin harga rokok dinaikkan adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Bukan tidak mungkin, pandangan-pandangan sinis para perokok akan tertuju pada LSM ini.

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengakui bagi kalangan pro tobacco, YLKI sering diklaim sebagai lembaga yang tidak peduli pada konsumen perokok. Seharusnya, YLKI melindungi konsumen perokok, bukan malah mendukung kenaikan harga rokok. “Itulah kira-kira klaim pro tobacco pada YLKI,” kata Tulus dalam siaran pers yang dikutip hukumonline, Selasa (23/8).

Tulus mengatakan, YLKI tentu sangat concern pada konsumen perokok, bahkan calon perokok. Tetapi, ia mengingatkan bentuk kepedulian/perlindungan YLKI terhadap konsumen perokok/calon perokok tidak bisa disamakan dengan komoditas seperti makanan, minuman, obat-obatan atau bahkan sektor jasa. Menurutnya, rokok itu produk tidak normal, terbukti rokok dikenakan cukai sebagai sin tax (pajak dosa).

Sedangkan pada komoditas normal (makanan, minuman, jasa) dikenai pajak, bukan cukai (pajak berbeda dengan cukai). “Kenapa ada pajak dosa pada rokok? Ya, karena rokok menimbulkan dampak eksternalitas negatif bagi konsumennya, bahkan bagi perokok pasif dan lingkungan,” ucap Tulus.

Tulus menjelaskan, kalau pendekatannya dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), rokok bisa dikategorikan sebagai produk yang melanggar UU Perlindungan Konsumen. Alasannya, Pertama, UUPK mensyaratkan bahwa produk yang dikonsumsi masyarakat harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa. “Adakah rokok mencantumkan tanggal kadaluwarsa,” tanya Tulus.

Kedua, UUPK mensyaratkan bahwa setiap produk menyebutkan kandungan/konten dari produk tersebut. “Adakah produk rokok menyebutkan semua kandungannya, yang jumlahnya 4.000 itu,” ujarnya. Kemudian, ketiga, setiap produk juga harus menyebutkan efek samping. “Adakah produk rokok menyebutkan semua efek sampingnya,” sambung Tulus. (Baca Juga: Meski Ditolak YLKI, Pembahasan RUU Pertembakauan Jalan Terus)

Belum lagi, kata Tulus, jika pendekatannya UU Jaminan Produk Halal (UU JPH). “Rokok mau dikategorikan sebagai produk apa? Padahal, menurut UU JPH setiap produk yang kita konsumsi harus mempunyai basis sertifikasi halal. So, rokok mau diberikan sertifikasi apa: halal atau haram? Tidak ada sertifikasi “makruh” loh,” ujar Tulus.

Oleh sebab itu, kata Tulus, harga yang mahal pada rokok itu sebagai bentuk perlindungan nyata pada konsumen, baik sebagai perokok dan atau non perokok. Menurutya, harga rokok yang murah akan mengakibatkan hilangnya perlindungan terhadap perokok, yang tragisnya dari kalangan rumah tangga miskin, anak-anak dan remaja. “Akankah hal itu kita biarkan melegenda,” tuturnya.

Tulus megatakan bentuk kepedulian/perlindungan YLKI terhadap perokok adalah agar tidak makin terperosok oleh dampak negatif rokok. Caranya dengan mengenakan harga mahal, batasi penjualannya, berikan peringatan kesehatan bergambar, larang total iklan dan promosinya plus tegakkan kawasan tanpa rokok.

“Jadi terkait wacana harga rokok Rp50.000/bungkus, YLKI setuju dan bahkan mendorong, sebagai bentuk kepedulian YLKI untuk melindungi konsumen perokok, dan atau non perokok, terutama di kalangan masyarakat menengah bawah, anak-anak dan remaja,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan meminta pemerintah mempertimbangkan dengan matang rencana kenaikan cukai rokok. Heri memandang perlu penelaahan secara mendalam dan proporsional sebelum pemerintah memutuskan kenaikan cukai rokok. (Baca Juga: Beri Penghargaan Industri Rokok, Menkeu Dinilai Langgar Aturan Ini)  

Heri menyoroti adanya anggapan di tengah masyarakat bahwa kenaikan cukai rokok akan mendorong harga jual rokok yang bisa mencapai Rp50 ribu. Menurutnya, bila rencana kenaikan cukai rokok tidak dipertimbangkan dengan baik, maka dapat mendorong timbulnya permasalahan baru.

"Pengangguran dan kelompok miskin baru akan muncul. Pada tahun 2014, misalnya, industri rokok melibatkan 5,98 juta pekerja yang terdiri atas 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur plus 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan. Jumlah pabrik rokok yang semula 4.669 telah berkurang menjadi 700 pada tahun 2015 akibat kebijakan beberapa tahun belakangan ini," katanya.

Terganggunya struktur industri rokok, kata Heri lagi, akan berdampak pada penerimaan cukai dalam APBN. Pada tahun 2015, misalnya, tercatat penerimaan cukai sebesar Rp144,6 triliun (96,4 persen adalah sumbangan dari cukai rokok). Ia mengharapkan pemerintah mempertimbangkan semua sisi sebelum menentukan kebijakan tersebut.

Tags:

Berita Terkait