KontraS Desak Presiden Tindak Lanjuti Rekomendasi MK
Terbaru

KontraS Desak Presiden Tindak Lanjuti Rekomendasi MK

Presiden diminta mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dan Pencarian Korban Penghilangan paksa.

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menindaklanjuti rekomendasi Mahkamah Konstitusi yang disampaikan dalam putusan atas permohonan uji materil UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Presiden harus memanggil dan mengkoordinasikan Jaksa Agung selaku penyidik dan Komnas HAM sebagai penyelidik untuk menindaklanjuti pertimbangan dan rekomendasi MK demi menjamin kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat," ujar Wakil Koordinator bidang Advokasi KontraS, Yati Andriani, di Jakarta, Rabu (24/8).

Yati melanjutkan, Presiden harus dapat mengakhiri perbedaan pendapat antara penyelidik dan penyidik yang mengakibatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat terkatung-katung.

Selama ini, menurut KontraS, berkas yang masuk ke Kejaksaan Agung selalu dikembalikan ke Komnas HAM dengan alasan yang berubah-ubah, mulai dari tentang bukti sampai belum adanya Pengadilan HAM ad hoc.

"Oleh karena itu kami juga meminta Presiden mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dan Pencarian Korban Penghilangan paksa. Langkah ini telah diterima oleh MK yang menyatakan ketidakpastian hukum terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat tidak hanya masalah hukum tetapi diperlukan dukungan politik," kata Yati.

Di samping beberapa desakan tersebut, KontraS pun meminta DPR dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melengkapi ketentuan dalam UU No.26 Tahun 2000 seperti rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi. (Baca Juga: Mahkamah Tolak Permohonan Korban Kerusuhan 1998 soal Pengadilan HAM)

Adapun dalam putusannya yang dibacakan pada Selasa (23/8) MK menyatakan menolak seluruh permohonan uji materil yang diajukan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diajukan korban penghilangan paksa tahun 1997/1998 dan kerusuhan Mei 1998 terkait frasa "kurang lengkap" pada Pasal 20 ayat 3 dan penjelasannya pada undang-undang tersebut.

Kata "kurang lengkap" itu dianggap pemohon multitafsir dan mengakibatkan berkas pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM sebagai penyelidik ke Jaksa Agung sebagai penyidik hanya bolak-balik yang mengakibatkan penyelesaiannya menggantung.

Namun, dalam putusan Nomor 75/PUU-XIII/2015 MK memandang ada tiga hal penting yang perlu dicantumkan dalam pasal tersebut yaitu satu, tentang penyelesaian atau jalan keluar jika terjadi perbedaan pendapat berlarut antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran HAM berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan.

Dua, penyelesaian atau jalan keluar apabila tenggang waktu 30 hari seperti dalam Pasal 20 ayat (3) UU No.26 Tahun 2000 terlampaui dan penyelidik tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya. Terakhir, tentang langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa dirugikan oleh pengaturan pada angka (1) dan angka (2).

Selain itu MK juga menganggap bahwa persoalan pelanggaran HAM berat seperti yang dialami pemohon sesungguhnya tidak lagi berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik.

Tags:

Berita Terkait