Rumit, Pembahasan Revisi UU Terorisme Jangan Buru-Buru
Berita

Rumit, Pembahasan Revisi UU Terorisme Jangan Buru-Buru

Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini juga bisa digunakan. Revisi tidak penting?

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aparat sesaat setelah bom pospol Sarinah terjadi. Foto: RES
Aparat sesaat setelah bom pospol Sarinah terjadi. Foto: RES
Revisi UU No. 15 Tahun 2013 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang masih masih terus digodok. Anggota Panitia Khusus (Pansus) revisi UU Pemberantasan Terorisme itu, Arsul Sani, mengatakan DPR sudah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan perwakilan masyarakat sipil, Polri, BIN, TNI, Komnas HAM, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Dari proses RDP terungkap sejumlah hal yang mengemuka dan perlu dikaji dalam proses penggodokan revisi. Misalnya  perluasan perbuatan yang bisa dipidana, kewenangan penangkapan, penahanan dan menempatkan orang yang diduga teroris ke tempat tertentu, dan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Pansus menyadari atensi masyarakat terhadap revisi UU Terorisme sangat besar. Rencananya Oktober 2016 daftar inventarisasi masalah (DIM) dari 10 fraksi harus diserahkan kepada sekretariat pansus. “Kami di DPR tidak mau membahas revisi UU ini seolah kejar tayang. Kami masih membuka terus masukan dari masyarakat,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (25/08).

Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme menurut Arsul jadi salah satu isu yang disorot masyarakat sipil. Dalam RDP dengan TNI, Arsul mengatakan ada usulan agar judul UU Tindak Pidana Terorisme diubah menjadi UU Pemberantasan Terorisme. TNI mau dilibatkan secara langsung, bukan menggunakan mekanisme perbantuan.

Politisi PPP itu mengatakan fraksinya lebih setuju pelibatan TNI dalam memberantas terorisme sifatnya perbantuan operasi selain perang sebagaimana amanat UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pemberantasan terorisme harus dilakukan lewat sistem peradilan pidana. Aparat penegak hukum yang terdepan memberantas terorisme.

Dalam proses penyusunan, ada gagasan tentang bentuk penghukuman, misalnya mencabut kewarganegaraan; dan masa penahanan dan penangkapan yang diperpanjang. Ada juga ketentuan yang disebut pasal ‘Guantanamo,’ yang memberi kewenangan aparat untuk menempatkan terduga teroris ke sebuah tempat tertentu. Berbagai ketentuan dalam draft revisi UU Terorisme itu menurut Arsul sangat rawan.

“Karena ada sejumlah hak yang berpotensi melanggar HAM, maka pansus tidak mau kejar tayang dalam membahas revisi UU Terorisme ini,” kata anggota Komisi 3 DPR itu.

Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, mengaku gembira mendengar pernyataan Arsul yang menyebut DPR tidak kejar tayang dalam membahas revisi UU Terorisme. Menurutnya, banyak kerumitan dalam RUU Terorisme yang perlu dibahas serius dan tidak terburu-buru.

Perempuan yang disapa Roi itu sepakat dengan Arsul yang menyebut penanganan terorisme di Indonesia harus berlandaskan sistem peradilan pidana. Dalam mengurusi masalah terorisme, aparat penegak hukum harus tunduk pada mekanisme hukum yang ada sampai selesai proses peradilan. “TNI bisa membantu aparat penegak hukum memberantas terorisme tapi mekanismenya tugas perbantuan sebagaimana UU TNI,” urainya.

Roi juga mengatakan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan harus sesingkat mungkin, agar control terhadap aparat juga bisa berjalan. Dengan begitu potensi kekerasan aparat terhadap orang yang ditangkap atau ditahan semakin kecil.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menilai revisi UU Terorisme tidak terlalu urgen untuk dibahas. Saat ini aparat penegak hukum bisa menangani persoalan terorisme berbekal hukum positif. Buktinya, pasca serangan teroris di Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, aparat banyak menangkap orang yang disinyalir sebagai teroris.

Apalagi terorisme juga dibahas dalam revisi UU KUHP. Untuk menghindari tumpang tindih regulasi, pria yang disapa Al itu mengusulkan agar pembahasan revisi UU Terorisme dilakukan setelah revisi UU KUHP selesai. “Saya usul agar DPR mengembalikan draft revisi UU Terorisme ini kepada pemerintah,” pintanya.
Tags:

Berita Terkait