Rohadi Tersangka Pengurusan Perkara di MA, Pengacara: Langkah KPK Tidak Pas
Berita

Rohadi Tersangka Pengurusan Perkara di MA, Pengacara: Langkah KPK Tidak Pas

Pengacara menilai langkah KPK yang tidak menggabungkan perkara Rohadi akan melanggar hak-hak hukum Rohadi.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Panitera PN Jakarta Utara Rohadi langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Kamis (16/6). Rohadi terjaring operasi tangkap tangan KPK karena diduga menerima suap dari pengacara artis Saiful Jamil yang menjadi terdakwa kasus pencabulan anak.
Panitera PN Jakarta Utara Rohadi langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Kamis (16/6). Rohadi terjaring operasi tangkap tangan KPK karena diduga menerima suap dari pengacara artis Saiful Jamil yang menjadi terdakwa kasus pencabulan anak.
Setelah perkara dugaan suap pengurusan perkara pedangdut Saipul Jamil dilimpahkan ke pengadilan, Panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rohadi kembali menjadi tersangka di KPK. Penyidik menetapkan Rohadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap atau gratifikasi terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha mengatakan, Rohadi diduga menerima gratifikasi dari pengurusan perkara di MA saat menjabat sebagai panitera di dua pengadilan negeri. Tidak hanya ketika menjadi panitera di PN Jakarta Utara, tetapi juga saat menjadi panitera di PN Bekasi. "Keduanya," katanya di KPK, Jumat (26/8). 

Walau begitu, Priharsa belum menyebutkan secara detail, perkara-perkara apa saja yang diurus oleh Rohadi. Namun, dari pengurusan perkara tersebut, Rohadi diduga menerima gratifikasi, yang salah satunya telah berubah bentuk menjadi mobil Toyota Yaris. Mobil itu telah disita penyidik dari sebuah apartemen di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Penyidik menyita pula sejumlah dokumen dan data elektronik dari hasil penggeledahan di beberapa lokasi, yaitu rumah pribadi Rohadi atau orang tuanya di Desa Cikedung, Indramayu, sebuah rumah di Desa Cikedung, rumah di Lunggadung, Indramayu, rumah di Tarik Kolot, Cikedung, Kantor Kecamatan di Cikedung, dan apartemen di Kelapa Gadung.

Priharsa belum merinci siapa saja pihak yang memberikan gratifikasi kepada Rohadi. Ia mengaku penyidik masih melakukan pendalaman. Penyidik juga masih mendalami berapa keseluruhan gratifikasi yang diterima Rohadi, termasuk mendalami dengan siapa Rohadi bekerja sama untuk pengurusan perkara di MA.

Pasalnya, apabila melihat jabatan Rohadi yang hanya panitera di PN Bekasi dan PN Jakarta Utara, Rohadi tidak memiliki kewenangan untuk mengurus perkara di MA. Apakah Rohadi cuma bertindak sebagai penghubung atau memang bekerja sama dengan oknum MA, Priharsa mengaku belum mengetahui. "Informasi baru sebatas itu," ujarnya.

Lantas, bagaimana dengan uang Rp700 juta yang ditemukan KPK di mobil Rohadi saat operasi tangkap tangan (OTT), 15 Juni 2016 lalu? Apakah uang juga diduga sebagai gratifikasi? Priharsa mengungkapkan bahwa hingga kini penyidik masih mendalami asal usul uang Rp700 juta. Yang pasti, uang itu bukan bagian dari dugaan suap pengurusan perkara Saipul Jamil. (Baca Juga: Soal Uang di Mobil Rohadi, KPK Duga Mantan Hakim Tinggi Terlibat)

Kemudian, bagaimana dengan aset Rohadi yang disebut cukup banyak di Indramayu? Apa aset-aset itu juga diduga dari gratifikasi dan akan turut disita? Atau, apakah KPK akan kembali menjerat Rohadi dengan tindak pidana pencucian uang? Priharsa menjelaskan, hingga kini, KPK baru melakukan penyitaan terhadap mobil, dokumen, dan data elektronik.

Terkait pencucian uang, Priharsa menyatakan, belum menerima informasi mengenai ada sangkaan tersebut. Rohadi baru dikenakan dugaan suap pengurusan perkara Saipul Jamil dan penerimaan gratifikasi. Untuk dugaan gratifikasi, Rohadi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 atau Pasal 12B UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Jadi, R (Rohadi) selaku paniteta pengganti pada PN Jakarta Utara dan panitera PN Bekasi diduga telah menerima hadiah atau janji. Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah itu diberikan untuk menggerakan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan pengurusan perkara di MA," terangnya.

Menanggapi penetapan tersangka kliennya, pengacara Rohadi, Hendra Heriansyah menganggap hal itu sebagai konsekuensi logis ketika Rohadi melakukan upaya perlawanan hukum. Sebagaimana diketahui, Rohadi memang mengajukan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan. Sebelumnya, anak Rohadi juga mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Pusat. (Baca Juga: Panitera PN Jakut “Pecat” Pengacaranya Gara-Gara Ajukan Praperadilan)

"Kan, kasus induknya, kasus OTT yang berkaitan dengan perkara SJ (Saipul Jamil), ternyata beranak pinak dengan kasus yg lain, yang semestinya tidak perlu ada, kalau seandainya Pak Rohadi tidak melakukan suatu hal-hal yang membuat suasana menjadi tidak bagus. Tapi, tidak apa-apa kalau memang harus seperti itu," tuturnya kepada hukumonline, Sabtu (27/8).

Hendra mengatakan, KPK hanya "sakit hati" dengan langkah-langkah yang dilakukan Rohadi. Namun, menurutnya, upaya KPK ini tidak pas dan akan mengorbankan hak-hak hukum Rohadi. Sebab, jika penuntutan perkara Rohadi dibuat terpisah atau di-split, maka Rohadi berpeluang terkena hukuman melebihi ancaman pidana maksimal.

Berbeda jika penuntutan digabungkan dalam satu berkas. Apabila penuntut umum menggabungkan penuntutan dalam satu berkas, sesuai Pasal 65 KUHP, maka maksimal hukuman yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa tidak boleh lebih dari ancaman pidana yang terberat, ditambah sepertiganya.

"Jadi, misalnya, katakanlah enam tahun. Nanti di kasus yang (gratifikasi) ini kenal lagi lima tahun. Bisa jadi belasan tahun. Nah, kalau bicara konteks keadilan, harusnya tidak seperti itu. Harusnya digabungkan. Nanti dari ancaman maksimal misal dia kena vonis delapan tahun, itu sudah akumulasi ditambah sepertiganya," tandas Hendra.

Sebagaimana diketahui, kasus ini berawal dari OTT KPK. Rohadi ditangkap usai  menerima uang Rp250 juta dari pengacara dan kakak Saipul Jamil. Uang itu diduga untuk mengurangi masa hukuman Saipul. Dalam putusan majelis hakim yang diketuai hakim IIfa Sudewi, Saipul hanya divonis tiga tahun penjara, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu tujuh tahun penjara.

Selain uang Rp250 juta, KPK juga menemukan uang Rp700 juta dari dalam mobil Rohadi. Uang tersebut diduga berasal dari mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang sekarang menjadi Komisi II DPR, Sareh Wiyono. Akan tetapi, Sareh, usai diperiksa penyidik KPK, 22 Juli 2016 lalu, telah membantah pemberian uang tersebut.

Belakangan, KPK melakukan pengembangan terhadap kasus Rohadi. KPK menduga Rohadi menerima gratifikasi saat menjabat panitera di PN Jakarta Utara dan PN Bekasi. Rohadi menjadi panitera di PN Jakarta Utara sejak 2001. Rohadi dimutasi ke PN Bekasi pada 2011. Pada 2014, Rohadi kembali menjadi panitera pengganti di PN Jakarta Utara.
Tags:

Berita Terkait