Mengenal Sanksi Hukum Kasus Narkotika yang Melibatkan Anak
Berita

Mengenal Sanksi Hukum Kasus Narkotika yang Melibatkan Anak

Ancaman pidana bagi anak yang menjadi kurir narkotika adalah setengah dari ancaman pidana yang terdapat dalam UU Narkotika.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Jaringan narkotika internasional memiliki modus baru, yakni melibatkan anak-anak di bawah umur sebagai kurir pemasok. Modus ini terkuak dari temuan kasus yang diungkap BNN bekerja sama dengan Bea dan Cukai Bandara Halim Perdanakusumapada 18 Agustus 2016.

Pada Kamis (25/8), petugas berhasil mengamankan13 bungkus plastik berisi daun ganja seberat 256,8 gram, yang dikemas dalam plastik mainan lego. “Ada tiga tersangka yang diamankan yang berinisial X, AML dan AMM. Modus mengedarkannya yakni dengan pemesanan secara online dan menjadikan anak-anak sebagai kurirnya," kata juru bicara BNN, Komisaris Besar Slamet Pribadi. Pelaku berinisial X merupakan seorang anak berusia 16 tahun.

Kasus narkotika yang melibatkan anak-anak sebagai kurir bukanlah hal baru. Lantas, apa sebenarnya sanksi hukum bagi pelaku atau anak-anak yang terjerat kasus narkotika?

Pelaku yang terlibat jaringan narkotika internasional dengan menggunakan anak-anak sebagai kurirnya dapat dijerat dengan Pasal 133 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bagi pelaku yang menyuruh dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, atau dengan cara memaksa dengan ancaman dan kekerasan, atau melakukan tipu muslihat terhadap si anak, maka pelaku dapat dipidana dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 20 miliar.

Bagi kurir atau orang yang menjadi perantara rantai perdangan narkotika, hukuman yang dapat dijerat tergantung pada jenis narkotika yang dibawanya. Misalnya, untuk perantara dalam transaksi narkotika golongan I berdasarkan Pasal 114 ayat (1) UU No. 35/2009, terhadap pelakunya dapat diancam  dengan pidana penjara  seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.  

Atau dapat dijerat dengan ketentuan mengenai penguasaan narkotika yang diatur dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Yakni setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, terhadap pelakunya dapat diancan dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar. (Baca Juga: Peredaran Ganja dari Amerika Serikat Libatkan Anak Indonesia)

Dalam penguasaan narkotika, terdapat yuriprudensi Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, bahwa Bezit dalam perkara narkotika harus memenuhi dua unsur, yakni  kekuasaan atas suatu benda dan adanya kemauan untuk memiliki benda itu. Artinya, bila seseorang tidak mengetahui bagaimana ia sampai membawa narkotika dan tidak menghendaki untuk memiliki benda itu, maka unsur pembuktian dalam Pasal 112 UU Narkotika menjadi tidak terpenuhi.

Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang dijadikan kurir narkotika? Apakah dapat juga dijerat dengan UU Narkotika? Atau ada pengecualiannya menurut hukum?

Untuk diketahui, ancaman pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Artinya, ancaman pidana bagi anak yang menjadi kurir narkotika adalah setengah dari ancaman pidana yang terdapat dalam UU Narkotika.

Terhadap anak-anak yang menjadi kurir atau perantara narkotika, harus didasarkan pada mekanisme yang diatur dalam UU Perlindungan anak dan UU Sistem Peradilan Anak. Penegakan hukum bagi pelaku yang masih berusia di bawah, terdapat ketentuan khusus yang dinamakan dengan diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anaksebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Namun diversi hanya dapat dilakukan dengan syarat ,yakni dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan perbuatan yang dilakukan si anak bukan merupakan pengulangan tindak pidana. (Baca Juga: Ini Isi Video Freddy Budiman)

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,upaya diversi dilakukan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Proses diversi dilakukan dengan melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional, yang dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Pasal 3 UU SPPAjuga mengatur mengenai hak bagi anak-anak yang diproses secara hukum melalui peradilan pidana, diantaranya: diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; dipisahkan dari orang dewasa; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; tidak dipublikasikan identitasnya; memperoleh pendidikan; dan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Tags:

Berita Terkait