Pejabat Publik Rangkap Jabatan? Ini Kata Pakar Ketatanegaraan
Berita

Pejabat Publik Rangkap Jabatan? Ini Kata Pakar Ketatanegaraan

Rangkap jabatan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara bisa jadi melanggar norma hukum, namun batasannya limitatif.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Pengajar Hukum Ketatanegaraan FHUI sekaligus peneliti dari PSHK, Fajri Nursyamsi. Foto: pshk.or.id
Pengajar Hukum Ketatanegaraan FHUI sekaligus peneliti dari PSHK, Fajri Nursyamsi. Foto: pshk.or.id
Rangkap jabatan yang dilakukan pejabat kementerian dan pejabat lembaga Negara setingkat kementerian, telahmenuai protes di kalangan masyarakat. Pejabat negara yang dipercaya memegang jabatannya semata untuk kepentingan publik, nyatanya tidak membatasi aktivitasnya dalam ruang publik hanya sebatas pada kewenangan yang melekat pada jabatannya.

Pejabat publik terutama yang berasal dari partai politik, nyatanya tidak bisa melepaskan agenda politiknya pada saat tengah memegang jabatan publik. Protes dari publik kemudian dilayangkan kepada pejabat negara yang masih menjalankan peran politiknya, terutama pada masa-masa kampanye untuk menjadi pemanis dalam menjaring suara pemilih.Lantas, apakah rangkap jabatan merupakan suatu pelanggaran norma hukum?

Pengajar Hukum Ketatanegaraan FHUI, Fajri Nursyamsi, mengatakan rangkap jabatan konteksnya merupakan pelanggaran etika. Rangkap jabatan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara bisa jadi melanggar norma hukum, namun batasannya limitatif seperti yang diatur dalam Pasal 23 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Menurut Pasal 23 UU Kementerian Negara, Menteri dilarang merangkap jabatan apabila jabatan yang dimaksud adalah sebagai pejabat Negara lainnya, atau menjadi komisaris/direksi pada perusahaan Negara/perusahaan swasta, atau merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD. Diluar batasan yang sifatnya limatatif tersebut, menteri atau pejabat Negara setingkat menteri yang melakukan rangkap jabatan, tidak bisa dilengserkan dari jabatannya, kecuali diberhentikan oleh Presiden seperti syarat yang diatur dalam Pasal 24 UU No.39 Tahun 2008.

Kasus yang teranyar adalah Nusron Wahid yang pada saat tengah menjabat Kepala BNP2TKI, juga ditugaskan oleh Partai Golkar untuk menjadiKetua Koordinator Pemenangan Pemilu Indonesia I yang meliputi wilayah Jawa dan Sumatera. Karena tugas kepartaiannya pula, Nusron ditunjuk sebagai Koordinator Tim Pemenangan Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta. (Baca Juga: Jadi Ketua Tim Pemenangan Ahok, 2 UU Ini Dilanggar Nusron Wahid)

Sikap Nusron menuai pro kontra di kalangan masyarakat, LBH Street Lawyer bahkan mengeluarkan pers rilis yang menuntut Nusron Wahid untuk mundur dari jabatannya sebagai Kepala BNP2TKI. Beberapa anggota DPR yang diwawancarai hukumonline menyatakan rangkap jabatan yang dilakukan Nusron telah melanggar undang-undang, dan menyarankan Nusron untuk cuti sementara dari jabatannya.

Namun Fajri Nursyamsyi berpendapat lain. Menurutnya, kasus Nusron ini sebenarnya tidak melanggar ketentuan rangkap jabatan seperti yang diatur dalam UU Kementerian Negara karena yang bersangkutan tidak secara langsung melanggar norma hukum. “Jadi seharusnya alamat keberatan publik atas sikap Nusron, harusnya ditujukan pada atasannya. Karena hal ini selain merupakan merupakan aspek administrasi antara pimpinan dan pembantu kerjanya, juga terdapat aspek publik karena jabatan yang diembannya adalah jabatan publik,” katanya kepada hukumonline, Jumat (26/8).

Namun permasalahannya, apakah etis seorang pejabat Negara yang diangkat oleh Presiden kemudian memegang jabatan yang sifatnya politis? Dan pertanyaan berikutnya, apakah kemudian ketika pimpinannya melakukan pembiaran maka berarti setuju dengan jabatan politis yang diemban bawahannya? Karena Presiden lah yang mengangkat Nusron sebagai pejabat publik, dan melekat tanggung jawab terhadapnya untuk melakukan penilaian terhadap kinerja bawahannya.

Menurut Fajri, kegusaran masyarakat adalah ketika pejabat Negara memegang jabatan politis, fasilitas Negara yang melekat pada jabatannya akan digunakan untuk menfasilitasi agenda politiknya. Padahal fasilitas Negara yang diberikan kepada pejabat Negara menggunakan dana APBN, yang dalam praktiknya sulit untuk diawasi batasan penggunaannya.

“Kita sebenarnya tidak hanya mengenal upaya represif, tetapi juga upaya preventif untuk mencegah terjadinya penggunaan fasilitas Negara untuk agenda politik dari pejabat Negara yang bersangkutan. Ini sangat menuntut kemampuan manajerial dari si atasan dalam mengelola orang-orang yang bekerja di bawahnya. Jadi kembali lagi ke political will dari Presiden,” ujar Fajri yang juga peneliti di PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan).

Fajri mengatakan, etika itu sebenarnya lebih tinggi dari norma hukum. “Banyak faktor yang bisa membentuk, desakan masyarakat itu salah satu hal yang bisa dilakukan,” kata Fajri. (Baca Juga: "Pukulan" Telak Hotman Paris kepada Ruhut Sitompul)

Dia menelaskan, terobosan pejabat publik yang bertindak secara etis dengan meletakkan jabatan politiknya, maka akan terbuka kemungkinan di mana living law suatu saat akan menjadi hukum tertulis. Kodifikasi akan terjadi, ketika apa yang sudah hidup dalam masyarakat telah berevolusi dan diterima secara teratur dan dijadikan sebuah sistem oleh otoritas.”

“Pernah ada upaya untuk membuat Rancangan Undang-Undang Etika Pemerintahan, namun justru ditolak oleh beberapa pakar hukum ketatanegaraan. Alasannya, karena etika adalah yang sesuatu yang mesti hidup berkembang di masyarakat, nilainya harus terlebih dahulu mengakar. Ketika dibuat kaku menjadi norma hukum, hal itu semata-mata karena telah mendapat sentuhan dari otoritas,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait