Putusan Hakim Mesti Menggali Hukum di Tengah Masyarakat
Seleksi Calon Hakim Agung

Putusan Hakim Mesti Menggali Hukum di Tengah Masyarakat

Penerapan hukum waris dengan menggali hukum di masyarakat memberikan bagian hak waris terhadap keluarga berpekara yang beragama non muslim.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Edi Riadi. Foto: komisiyudisial.go.id
Edi Riadi. Foto: komisiyudisial.go.id
Edi Riadi mencoba berpikir keras mengingat kembali saat memutus perkara hak waris puluhan tahun silam. Ingatan Edi sebagai respon atas sejumlah cecaran pertanyaan terkait dengan penerapan hukum waris saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Agung (CHA), di Ruang Komisi III DPR, Senin (29/8).

“Apakah saya termasuk hakim progresif atau konservatif, setidaknya putusan saya memberikan hak waris kepada non muslim,” ujarnya.

Pada tahun 1988, Edi menjadi hakim di pengadilan agama Manado, Sulawesi Utara.  Sebagai hakim yang menguasai hukum islam, ia tak serta merta menggunakan hukum islam dalam memutus perkara waris. Salah satu pihak yang beragama Kristen menjadi pertimbangan penting sebelum memutus perkara.

Islam dan Kristen sebagai agama yang saling mengasihi. Begitu pandangan Edi saat menjawab cecaran pertanyaan anggota Komisi III DPR, Sarifudin Sudding. Menurut Edi, pertimbangan memperhatikan dan menggali hukum yang berkembang di tengah masyarakat menjadi keharusan sebagai seorang hakim demi mengedepankan keadilan.

“Dalam putusan saya tetap melihat bagaimana hukum yang ada di masyarakat. Karena Islam dan Kristen saling mengasihi, maka dalam penerapan putusan orang Kristen mendapat bagian,” ujarnya.

Putusan tersebut menjadi kebanggaan Edi sepanjang menjadi hakim agama. Jabatan terakhir yang kini diembannya menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama. Terkait dengan penilaian orang dirinya dikategorikan hakim progresif atau konservatif, Edi mempersilakan memberikan penilaian melalui putusan perkara waris yang memberikan hak waris kepada keluarga yang beragama non muslim.

“Prestasi yang saya banggakan memberikan hak waris kepada orang Kristen pada 1988. Itu kebanggaan buat saya,” ujarnya. (Baca Juga: Hakim, Profesi Loyal dan Dapat Menyimpangi UU)

Menggali nilai-nilai yang berkembang di masyarakat menjadi keharusan sebagai seorang hakim. Prinsip itulah yang menjadi pegangan Edi selama menjalani profesinya sebagai hakim pengadilan agama. Persoalan cerai dan waris menjadi ‘hidangan’ sehari-hari yang dihadapi Edi dalam kesehariannya menjadi seorang hakim.

Selain menggali hukum, sosok Edi kerap kali memberikan kritik terhadap perbaikan lembaga peradilan.  Saat Prof. Bagir Manan masih menjadi orang nomor satu di lembaga peradilan Mahkamah Agung, Edi sempat mengkritiknya. Saat itu, Edi menjabat sebagai asisten hakim agung di Mahkamah Agung. Terjadilah perdebatan terhadap sesuatu hal antara Bagir dengan beberapa hakim agung lainnya. Masing-masing pihak kekeuh dengan pandangannya.

Edi mengkritik cara Bagir Manan. Ia menyodorkan sebuah UU ke hadapan Bagir. Ucapan Bagir tak membuat edi kecil hati. Menurut Bagir, kata Edi, UU yang disodorkan telah usang. “Tapi saya bilang walau usang, tapi belum dihapuskan,” ujarnya.

Saat menjadi panitera muda perdata di Mahkamah Agung, Edi pun sempat memberikan kritikan pedas kali kedua ke Bagir Manaan. Kali ini, terkait dengan insentif antara panitera denga hakim agung. Saat itu, insentif bagi panitera yang mengetik putusan sebesar Rp20 ribu. Sedangkan bagi hakim agung sebesar Rp50 ribu.

“Setelah saya kritik, alhamdulillah sekarang sudah lebih besar insentif panitera ketimbang dari hakim agung. Saya kritik Badilag. Saya adu argumentasi. Itulah apakah saya bisa atau tidak mengkritik atasan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait