Tanpa Jaminan Pemerintah, Bagaimana Swasta Mau Bangun Proyek 35.000 MW?
Berita

Tanpa Jaminan Pemerintah, Bagaimana Swasta Mau Bangun Proyek 35.000 MW?

PT PLN punya opsi untuk memasukan proyek 35.000 MW lewat skema Public Private Partnership (PPP)

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Senior Legal Counsel PT PLN, Derina dalam workshop “Membedah Aspek Hukum Proyek Ketenagalistrikan di Indonesia” yang digelar Hukumonline di Jakarta, Selasa (30/8). Foto: NNP
Senior Legal Counsel PT PLN, Derina dalam workshop “Membedah Aspek Hukum Proyek Ketenagalistrikan di Indonesia” yang digelar Hukumonline di Jakarta, Selasa (30/8). Foto: NNP
Proyek 35.000 Megawatt (MW) telah dicanangkan pemerintah sejak tahun lalu. Komposisinya akan dibagi antara pemerintah dan swasta dengan komposisi 10.000 MW dibangun PT PLN dan 25.000 MW dibangun oleh swasta (Independent Power Producer/IPP). Teknisnya, PLN dapat mengadakan kerjasama dengan IPP dengan skema Build Operate Transfer (BOT) melalui perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement/PPA).
Senior Legal Counsel PT PLN, Derina mengatakan bahwa proyek percepatan II (Fast Track Program/FTP II) memberikan setiap IPP jaminan pemerintah, yakni Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU). Dasarnya, diatur lewat  PMK Nomor 225/PMK.011/2013 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemberian Jaminan Kelayakan Usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Dengan Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, Dan Gas Yang Dilakukan Melalui Kerjasama Dengan Pengembang Listrik Swasta.
Pada intinya, aturan tersebut memberikan jaminan bahwa PT PLN dipastikan mampu menyelesaikan kewajiban finansialnya yang tercantum dalam PPA kepada setiap IPP. Namun, implementasi pemberikan jaminan pemerintah pada kenyataannya belum bisa direalisasikan. Yang menjadi persoalan bagi PT PLN, kata Derina, adalah bagaimana sebetulnya penentuan kriteria bagi IPP yang bisa mendapatkan jaminan pemerintah?
“Proyek yang mana saja yang bisa mendapat jaminan? Ini perlu ditetapkan,” ujar Derina saat menjadi narasumber dalam workshop “Membedah Aspek Hukum Proyek Ketenagalistrikan di Indonesia” yang digelar Hukumonline di Jakarta, Selasa (30/8). (Baca Juga: Ingat! Aparat Penegak Hukum Tak Bisa Asal Pidanakan Pejabat PLN)
Lebih lanjut, Derina menyatakan pemberian jaminan pemerintah kepada IPP mutlak diperlukan. Sebab, IPP akan berani masuk ke Indonesia ketika mereka yakin dan mendapat jaminan apakah proyek tersebut benar-benar berjalan. Tanpa jaminan pemerintah, sulit rasanya bagi IPP untuk ikut serta dalam proyek megal listrik tersebut. Di satu sisi, PT PLN berharap pemberikan jaminan pemerintah bisa segera dikeluarkan. Namun di sisi lain, PT PLN kesulitan ketika mempertimbangkan syarat apa saja untuk menentukan IPP yang mendapat jaminan. 
Sejatinya, pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dilaksanakan sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Pertanyaan lanjutan yang dihadapi PT PLN adalah apakah semua proyek di RUPTL bisa mendapat jaminan pemerintah? “Tanpa jaminan, rentan sekali investor mau masuk ke Indonesia. Menteri Keuangan diharapkan bisa cepat terbitkan aturan. Kita masih tunggu di Permen atau PP,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Partner dari firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, Kanya Satwika mengatakan bahwa proyek 35.000 MW hingga saat ini memang belum mendapat kepastian apakah akan mendapat jaminan pemerintah atau tidak. Kondisi demikian, katanya, menjadi banyak dipertanyakan oleh umumnya konsorsium bank selaku lender mengingat payung hukumnya sendiri belum terbentuk. Jalan keluarnya, kata Kanya, PT PLN bisa saja memasukan proyek 35.000 MW sebagai proyek di bawah skema Public Private Partnership (PPP).
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait