Ini Peraturan Menkeu Terbaru Terkait Pengampunan Pajak
Berita

Ini Peraturan Menkeu Terbaru Terkait Pengampunan Pajak

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 23 Agustus 2016.

Oleh:
Mohamad Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dengan pertimbangan  bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum Pengampunan Pajak berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Harta tidak langsung melalui special purpose vehicle (SPV), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada 23 Agustus 2016 telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor : 127/PMK.010/2016 tentang  Pengampunan Pajak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle.

Dikutip dari situs Setkab, Rabu (31/8), PMK itu menyebutkan bahwa Special Purpose Vehicle merupakan perusahaan antara yang: a. didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti pembelian dan/ atau pembiayaan investasi; dan b. tidak melakukan kegiatan usaha aktif.

Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan yang berisi pengungkapan Harta harus mengungkapkan kepemilikan Harta tersebut beserta Utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan Harta, yang diungkapkan dalam lampiran Surat Pernyataan yang disampaikan.

“Dalam rangka pengungkapan kepemilikan harta sebagaimana dimaksud : a. Wajib Pajak yang belum melaporkan Harta berupa kepemilikan saham pada special purpose vehicle yang didirikannya pada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) terakhir, nilai Harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak secara tidak langsung melalui special purpose vehicle adalah sebesar nilai Harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak secara tidak langsung melalui special purpose vehicle tersebut,” bunyi Pasal 3 ayat (2) PMK tersebut.

Sedangkan b. dalam hal Wajib Pajak telah melaporkan Harta berupa kepemilikan saham pada special purpose vehicle yang didirikannya pada SPT PPh Terakhir, menurut PMK ini,  nilai Harta tambahan yang dimiliki oleh Wajib Pajak secara tidak langsung melalui special purpose vehicle adalah sebesar nilai Harta tidak langsung melalui special purpose vehicle dikurangi nilai kepemilikan saham pada special purpose vehicle yang telah dilaporkan pada SPT PPh Terakhir dikalikan dengan proporsi nilai masing-masing Harta tidak langsung melalui SPV.

Dalam hal Harta tidak langsung melalui special purpose vehicle dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) Wajib Pajak, menurut PMK ini, besarnya nilai Harta untuk masing-masing Wajib Pajak beserta Utang yang berkaitan langsung dengan Harta yang diungkapkan oleh Wajib Pajak dimaksud dihitung secara proporsional sesuai porsi kepemilikan pada special purpose vehicle dari masing-masing Wajib Pajak. (Baca Juga: Ada ‘Pengecualian’ Pengampunan Pajak, Anda Termasuk?)

Menurut PMK ini, Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan dengan mengungkapkan seluruh Harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak secara tidak langsung melalui special purpose vehicle sebagaimana dimaksud harus membubarkan atau melepaskan hak kepemilikan atas special purpose vehicle dengan melakukan pengalihan hak atas Harta tersebut:

1. Dari semula atas nama special purpose vehicle menjadi atas nama Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan; atau 2. dari semula atas nama special purpose vehicle menjadi atas nama badan hukum di Indonesia melalui proses pengalihan harta menggunakan nilai buku.

“Badan hukum di Indonesia sebagaimana dimaksud adalah badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki oleh Wajib Pajak yang sama dengan Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan dengan  mengungkapkan seluruh Harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak secara tidak langsung melalui special purpose vehicle sebagaimana dimaksud,” bunyi Pasal Pasal 5 ayat (2) PMK itu.

Terhadap pengalihan hak atas Harta sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, harus diungkapkan dalam lampiran Surat Pernyataan dengan memberikan keterangan atau penjelasan terkait proses pengalihan harta dimaksud.

Pengalihan hak atas Harta sebagaimana dimaksud berupa: a. Harta tidak bergerak berupa tanah dan/ atau bangunan di Indonesia; dan/ atau b. saham, dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, apabila perjanjian pengalihan hak atas Harta dimaksud ditandatangani dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017.

“Apabila perjanjian pengalihan hak sebagaimana dimaksud ditandatangani setelah tanggal 31 Desember 2017, atas pengalihan hak dimaksud dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan,” bunyi Pasal 6 ayat 2 PMK itu. (Baca Juga: Tax Amnesty Resahkan Masyarakat, Presiden Minta Menkeu Beri Penjelasan)

Ditegaskan dalam PMK ini, Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Harta tidak langsung melalui special purpose vehicle yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak beserta perubahannya.

“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 yang telah diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana pada 23 Agustus 2016 itu.

Tolak Pengampunan Pajak
Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan konglomerat pengemplang pajak serta wajib pajak yang menyembunyikan dananya di luar negeri seharusnya diberikan sanksi yang lebih berat, bukan malah mendapatkan pengampunan.

"Karena itu, Aspek Indonesia mendesak majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan permohonan uji materi UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak," kata Mirah. (Baca Juga: Presiden: Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah, Tax Amnesty itu Hak Bukan Kewajiban)

Mirah mendesak MK membatalkan dan menyatakan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak berlaku sesuai permohonan uji materi yang diajukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) karena ada ketidakadilan pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Salah satu bentuk ketidakadilan itu adalah kelompok pekerja yang selama ini tertib membayar pajak yang langsung dipotong dari penghasilan malah dihilangkan haknya untuk memperjuangkan kenaikan upah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Penolakan Undang-Undang Pengampunan Pajak bukan hanya disuarakan oleh kalangan serikat pekerja saja, melainkan juga oleh berbagai kalangan serta tokoh. Bila tujuan pemerintah menambah pendapatan pajak negara, seharusnya bukan dengan memanjakan para pengemplang pajak," tuturnya.

Menurut Mirah, pemerintah harus adil dalam memberlakukan ketentuan pajak. Jangan pengemplang pajak diberikan pengampunan, sementara rakyat kecil terus dipungut pajaknya.

Mirah menilai Undang-Undang Pengampunan Pajak membuktikan bahwa pemerintah telah gagal mengelola keuangan negara dan lebih mengedepankan kepentingan pengusaha yang selama ini lari dari kewajiban membayar pajak kepada negara. "Aspek Indonesia sebagai afiliasi dari KSPI, akan memperjuangkan keadilan sosial tanpa amnesti pajak bersama-sama dengan rakyat," ujarnya.

Tags:

Berita Terkait