Pernyataan Ini Bikin MK ‘Tersinggung’ Saat Adili Pasal Kesusilaan
Utama

Pernyataan Ini Bikin MK ‘Tersinggung’ Saat Adili Pasal Kesusilaan

Gara-gara Komnas Perempuan dan ICJR menilai permohonan ini seharusnya diselesaikan lewat legislative review.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Sidang pengujian pasal kesusilaan dengan agenda keterangan Pihak Terkait. Foto: MK di
Sidang pengujian pasal kesusilaan dengan agenda keterangan Pihak Terkait. Foto: MK di
Komnas Perempuan dan        

“Kemudian secara teoritik ada MK yang berfungsi menyempurnakan, melengkapi supaya match dengan konstitusi. Pemohon mengharapkan kita melengkapi, menyempurnakan apakah ini bertentangan dengan konstitusi atau tidak?”

Dia menegaskan apabila pihak terkait menilai MK memiliki keterbatasan, sehingga persoalan pengujian KUHP ini lebih baik dibahas di DPR merupakan penilaian yang kurang etis. “Apakah di sini (MK) malah merusak atau menyempurnakan dan melengkapi secara konstitusional?”

Menurutnya, meski persoalan konstitusional hanya ditangani 9 hakim, pengalamannya sebagai Hakim Konstitusi semua persoalan dalam pengujian UU dibahas secara komprehensif dan holistik yang belum tentu dibahas oleh banyak orang. “Malah saya merasakan di sini lebih komprehensif dan lebih holistik. Kita bisa lebih tenang, lebih bisa mengukur konstitusionalitas dibandingkan di sana, karena semuanya tidak punya kepentingan politik atau kepentingan apa-apa,” klaimnya.  

Dalam keterangannya, Komnas Perempuan menilai MK tidak berwenang mengadili pengujian perluasan pasal kesusilaan ini karena itu sejatinya kewenangan pembentuk UU. Sesuai Pasal 57 ayat (2a) huruf c UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK, putusan MK tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

“Pandangan kami, MK tidak berwenang memeriksa perkara ini. Kepentingan Pemohon seharusnya disampaikan ke lembaga legislatif karena Pemohon tidak memiliki legal standing,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana dalam persidangan.

ICJR menilai permintaan kriminalisasi dengan meminta perluasan tindak pidana kesusilaan semestinya dengan UU. Sebab, persoalan ini menyangkut pembatasan HAM berupa pemidanaan terhadap warga negara. Tak hanya itu, seharusnya pembahasan ini dilakukan secara mendalam dengan melibatkan kesepakatan pemerintah dan masyarakat (DPR). Apalagi, saat ini tengah dilakukan proses revisi Rancangan KUHP termasuk pasal-pasal yang dipersoalkan Pemohon.

“Pengujian norma ini tidaklah tepat dilakukan saat ini. Jadi, sudah tepat apabila DPR melakukan perumusan pidana ini sebagaimana diinginkan Para Pemohon,” ujar Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu.

Pandangan ini disampaikan dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (pemerkosaan), dan Pasal 292 (pencabulan homoseksual) dalam KUHP di Gedung MK. Sebagai pihak terkait, kedua lembaga ini sepakat agar MK tidak mengabulkan permohonan yang hendak memperluas pasal-pasal tindak pidana kesusilaan tersebut. “Menyatakan pengujian Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Azriana di ruang sidang MK.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah didengar keterangannya sebagai pihak terkait di sidang pengujian pasal-pasal tindak pidana kesusilaan yang diajukan Guru Besar IPB Euis Sunarti Dkk. Namun, ada bagian keterangannya yang bikin Majelis Mahkamah Konstitusi ‘tersinggung’. Majelis merasa kedua lembaga itu seolah menaruh ketidakpercayaan ketika MK mengadili permohonan ini.  

Saudara mengatakan ketika ada jaminan MK tetap menjadi penafsir. Ini kelihatannya Saudara tidak mempercayai MK. Tetapi saya kira itu hak Saudara ya,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat sesi tanya jawab di sidang lanjutan pengujian KUHP di ruang sidang MK, Selasa (30/8).   

Ketua Majelis MK, Arief Hidayat melanjutkan keterangan Komnas Perempuan dan ICJR cenderung mengandung kritikan yang seolah ada keterbatasan kewenangan MK mengadili permohonan ini. “Saya sangat tergelitik dengan keterangan Pihak Terkait. Implisit, saya melihat ada kritik kedua Pihak Terkait, seolah ada keterbatasan kalau permohonan ini diputus oleh MK,” kata Arief.  

Arief mengatakan keterangan pihak terkait tersirat merasa kalau permohonan ini diputus MK kurang komprehensif atau kurang holistik dibanding pembahasan Rancangan KUHP melalui legislative review. “Saudara seolah-olah mengadu antara persetujuan rakyat dan kewenangan konstitusional MK yang diamanatkan konstitusi,” kata Arief

Dalam kesempatan ini, dia mengutip teori Robert Seidman yang kembali dikutip Prof Satjipto Rahardjo yang berpandangan undang-undang (UU) itu cacat sejak lahir. Sebab, UU itu adalah hasil pergulatan berbagai kepentingan, kesepakatan nasional yang dipengaruhi faktor sosial, politik, ekonomi, agama, kepercayaan, dan sebagainya.
Tags:

Berita Terkait