Sering Jadi Ahli di Persidangan, Guru Besar IPB Bicara Kebakaran Hutan
Berita

Sering Jadi Ahli di Persidangan, Guru Besar IPB Bicara Kebakaran Hutan

Perusahaan cenderung membiarkan?

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Bambang Hero (nomor 2 dari kanan, menghadap lensa) dalam salah satu diskusi bersama hakim agung di Jakarta. Foto: RES
Bambang Hero (nomor 2 dari kanan, menghadap lensa) dalam salah satu diskusi bersama hakim agung di Jakarta. Foto: RES
Dalam sidang gugatan Pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) terhadap PT NSP di PN Jakarta Selatan, Bambang Hero Sahardjo, salah seorang ahli yang dihadirkan penggugat. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) itu sudah sering diminta menjadi ahli baik dalam perkara perdata maupun pidana kehutanan. Keahliannya di bidang kebakaran hutan sudah diakui banyak pihak.

Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), lembaga yang dibentuk zaman Presiden SBY, pernah meminta Prof. Bambang melakukan kajian tentang kebakaran hutan. Tugas itu mengantarkannya ke Sumatera dan Kalimantan untuk terjun langsung ke lokasi rawan kebakaran. Ia bahkan mendatangi lokasi-lokasi yang terbakar.

Atas permintaan UKP4, Bambang dan tim melakukan audit terhadap 15 perusahaan di Riau. Hasilnya, tidak ada perusahaan yang punya sarana dan prasarana memadai. Nilai perusahaan yang diaudit itu rata-rata 30 dari total nilai 100. Padahal dalam dokumen yang dikantongi belasan perusahaan itu seperti Amdal, mereka mengakui area konsesinya rawan kebakaran karena bergambut. Konsekuensinya, perusahaan harus menyediakan sarana dan prasarana guna mencegah kebakaran.

Saat dilakukan audit, penyediaan sarana dan prasarana pencegah kebakaran tidak terealisasi. Perusahaan cenderung melakukan pembiaran karena mereka tidak punya sarana dan prasarana yang memadai untuk mengatasi kebakaran. “Mereka (perusahaan) tidak melakukan tindakan apapun padahal berbagai aturan sudah mewajibkan mereka untuk menyiapkan sarana dan prasarana. Bahkan ada sanksi jika itu tidak dilaksanakan,” kata Bambang dalam diskusi yang diselenggarakan Koalisi Anti Mafia Hutan di Jakarta, Selasa (30/08) kemarin.

Menurut Bambang jika perusahaan pemegang izin konsesi lahan punya persiapan untuk mencegah kebakaran, peristiwa kebakaran hutan besar pada  2015 seharusnya bisa dicegah. Perusahaan tidak berdaya menangani kebakaran yang terjadi di lahan konsesinya karena tidak punya sistem peringatan dan deteksi dini, tidak punya sarana dan prasarana penunjang, dan tak memiliki standar operasional prosedur serta keterampilan mencegah kebakaran.

Pasca kebakaran hutan pada 2015 lalu, Bambang melihat saat ini hampir tidak ada perusahaan yang melakukan perubahan untuk mencegah berulangnya peristiwa serupa. Upaya yang dilakukan perusahaan sangat minim. Menurutnya tidak heran tahun 2016 ada sejumlah kabupaten yang mengalami kembali kebakaran hutan dan lahan.

Parahnya, para pelaku pembakaran hutan dan lahan mencari tempat yang ‘sulit dijangkau’ seperti di atas bukit. Bambang mengetahui hal itu saat mengunjungi 4 kabupaten di Riau dua pekan lalu. Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, Bambang menemukan pembakaran hutan seluas 20 hektar dilakukan di atas bukit yang disebut Bukit Neraka.

Bambang juga mengkritik diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Riau terhadap 15 perusahaan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Bambang telah menginvestigasi 2 dari 15 perusahaan itu yakni PT Riau Jaya Utama (RJU) dan PT Pan United. Melihat fakta yang terjadi di area konsesi kedua perusahaan itu Bambang berpendapat perkaranya tidak layak di SP3. Karena jelas terjadi kebakaran di lokasi tersebut dan perusahaan tidak punya sarana dan prasarana untuk mengatasinya.

Selain itu hasil investigasi terhadap dua perusahaan itu menunjukan terjadi pencemaran lingkungan mengacu pada emisi gas rumah kaca yang melebihi baku mutu. Bambang juga telah menghitung kerugian yang ditimbulkan jumlahnya cukup besar, mencapai puluhan milyar rupiah. “Ini sudah jelas ada tindak pidana, tapi kenapa keluar SP3? Dalam regulasi kan sudah jelas, perusahaan sebagai penanggung jawab usaha bertanggungjawab atas wilayah usahanya,” tegasnya.

Menurut Bambang, inilah sejumlah hal yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di Indonesia karena penanganannya tidak serius. Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan menyerukan Indonesia harus bebas asap, tapi itu tidak terjadi sampai hari ini. Pemerintah harus punya kemauan politik yang kuat untuk mengendalikan kebakaran melalui sistem pencegahan yang dibangun serius. Kemudian harus dilakukan audit kepada korporasi yang mengelola lahan konsesi.

Advokat Publik YLBHI, Wahyu Nandang, mencatat sedikitnya 3 hal yang penting dicermati menyangkut kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, perizinan yang dikantongi perusahaan untuk melakukan kegiatan di atas lahan konsesi. Menurutnya, izin merupakan instrumen pengendalian dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup.

Perizinan itu juga berkaitan dengan konsep strict liability sebagaimana pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Lewat izin itu bisa diketahui siapa yang bertanggungjawab atas pengelolaan lahan konsesi. Untuk itu Wahyu mengusulkan agar izin diberikan secara ketat, hanya untuk pihak yang bisa menjalankan tanggungjawabnya. “Jadi tanpa harus melihat unsur kesalahan atau pembuktian lainnya, perusahaan pemegang izin konsesi yang harus bertanggungjawab,” kata Wahyu.

Kedua, pengawasan. Setelah izin diberikan, Wahyu menilai hal penting yang perlu dilakukan Pemerintah adalah pengawasan. Ia menilai saat ini pengawasan pemerintah sangat lemah. Indikasinya masih sering terjadi kebakaran hutan. Pengawasan merupakan awal dari proses penegakan hukum. “Pengawasan yang ada saat ini sangat lemah sekali, makanya kebakaran hutan terus terjadi,” ujarnya.

Ketiga, evaluasi kebijakan pemerintah. Wahyu mencatat Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan moratorium pemberian izin usaha di sektor kehutanan dan lahan gambut. Namun, tidak terlaksana dengan baik. Ia mengusulkan agar Presiden Joko Widodo mengawal langsung kebijakan ini. Jika ini tidak berjalan, bisa jadi catatan buruk bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo karena dianggap tidak mampu menghentikan kerusakan lingkungan yang salah satunya disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan.
Tags:

Berita Terkait