Korban Perpres No. 10 Tahun 1959 Juga Perlu Dipikirkan
Kewarganegaraan:

Korban Perpres No. 10 Tahun 1959 Juga Perlu Dipikirkan

Perlu dipertegas dalam revisi UU Kewarganegaraan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
anak-anak berkewarganegaraan ganda. Foto: MYS
anak-anak berkewarganegaraan ganda. Foto: MYS
Satu dasawarsa implementasi UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bukan hanya membuka kelemahan kewarganegaraan ganda, tetapi juga masalah kewarganegaraan lainnya. Misalnya, mereka yang menjadi korban kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 1959 –sering juga disebut Penpres No. 10/1959.

Perpres No. 10 Tahun 1959 sebenarnya mengatur tentang Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I dan II Serta Karesidenan. Tetapi dalam praktiknya, Perpres ini membuat warga asing, khususnya keturunan China, harus hengkang dari ibukota kecamatan dan menyerahkan usaha mereka. Bisnis mereka dilukuidasi, dan sesuai Perpres, diberikan ganti rugi.

Banyak warga keturunan asing yang terpaksa pindah ke ibukota provinsi, ke kota-kota besar, atau kembali ke negara asalnya. Kebijakan ini ternyata berimbas pada masalah kewarganegaraan. Beberapa di antaranya mengalami kesulitan karena mereka terusir sebelum menjadi WNI. Saat kembali ke negara asal, mereka tidak diakui. Kembali ke Indonesia pun mereka masih mengalami kesulitan. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) masih menemukan warga yang menjadi korban kebijakan Perpres No. 10 Tahun 1959.

Peneliti IKI, Eddy Setiawan, mengungkapkan informasi itu di depan sejumlah pejabat Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM saat memperingati Satu Dasawarsa UU Kewarganegaraan, di Jakarta, 25 Agustus lalu. “Masalah ini juga perlu dipikirkan bersama,” ujarnya.

Eddy tidak bisa memastikan berapa jumlah pasti warga yang menjadi koban kebijakan Perpres No. 10 Tahun 1959. Ia meyakini sebagian enggan untuk mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi karena tak ingin statusnya sebagai korban kebijakan Perpres diketahui banyak orang.

Penduduk semacam itu juga sulit disebut kategori rentang berdasarkan UU Administrasi Kependudukan. Sebab, kategori rentan berdasarkan Undang-Undang ini lebih merujuk pada korban bencana alam, bencana sosial, orang terlantar, dan komunitas terpencil. Apakah korban kebijakan Perpres itu bisa dikategorikan korban sosial? Warga yang didampingi IKI saat ini mungkin saja masuk karena kurang waras. Tetapi yang normal tetap mengalami kesulitan. “Kalau yang normal itu yang kesulitan kalau pemahaman terhadap catatan sipil tidak utuh,” jelasnya kepada hukumonline.

Salah satu yang mungkin bisa digunakan adalah Permendagri No. 11 Tahun 2010 tentang Pedoman Pendataan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan. Bencana sosial dalam Permendagri ini diartikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial, antar kelompok, atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Jika pengaturan terhadap korban kebijakan masa lalu itu tak jelas, ada peluang untuk mengaturnya dalam UU Kewarganegaraan yang baru. Desakan untuk merevisi UU No. 12 Tahun 2006 sudah mengemuka. Bahkan sudah masuk Program Legislasi Nasional.
Tags:

Berita Terkait