Kurator Bersuara tentang Aturan Baru Imbalan Jasa
Utama

Kurator Bersuara tentang Aturan Baru Imbalan Jasa

Resiko yang dihadapi kurator saat pemberesan sangat besar. Menyamakan dengan basis honorarium advokat kurang pas.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi profesi hukum. Ilustrator: BAS
Ilustrasi profesi hukum. Ilustrator: BAS
Pemerintah sudah menerbitkan aturan baru imbalan jasa bagi kurator atau pengurus. Aturan fee itu tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 Tahun 2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus.

Besarnya imbalan jasa berdasarkan beleid terbaru ini dibedakan berdasarkan status kepailitan yang diajukan. Pertama, jika kepailitan berakhir dengan damai, imbalan jasa dihitung dari persentase nilai utang yang harus dibayar oleh debitor. Fee yang diterima adalah 5 persen jika jumlah utang maksimal Rp50 miliar; 3 persen jika jumlah utang besar dari Rp50 miliar; 2 persen untuk jumlah utang besar dari Rp250 miliar; dan 1 persen jika nilai utang di atas Rp500 miliar.

Kedua, jika pailit dan berakhir dengan pemberesan, imbalan jasa dihitung dari persentase nilai hasil pemberesan harta pailit di luar utang. Kurator akan mendapat 8 persen jika nilai aset pemberesan sampai dengan Rp50 miliar. Selanjutnya akan turun menjadi 6 persen jika nilai aset pemberesan di atas Rp50 miliar; 4 persen jika nilai aset pemberesan lebih besar dari Rp250 miliar; dan 1 persen untuk total aset di atas Rp500 miliar.

Ketiga, jika pernyataan pailit yang ditolak di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK), besarnya imbalan jasa dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit atau pemohon dan debitor dalam perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim. Perhitungannya didasarkan pada tarif jam yang terpakai. Tarif jam terpakai maksimal 4 juta per jam.

Kurator Nien Rafles Siregar menyebut Permenkumham No. 11 Tahun 2016 punya dua sisi yang bertolak belakang, positif dan negatif. Positifnya, ada kepastian perhitungan atas imbalan jasa untuk kurator dan pengurus. Negatifnya, imbalan jasa berdasarkan jam kerja kurang tepat digunakan terhadap kurator dan pengurus mengingat risiko pekerjaan yang ditanggung kurator dan pengurus lebih besar.

Perhitungan imbalan jasa hourly basis terkesan meniru honorarium advokat. Padahal resiko pekerjaannya berbeda, “Satu sisi bagus jadi ada hitungan yang pasti. Di sisi lain pekerjaan kurator ini dari segi upah mirip lawyer dan advokat sedangkan risiko pekerjaan lebih besar,” kata Rafles kepada hukumoline, Rabu (31/8).

Rafles membandingkan fee kurator terdahulu. Dulu, lanjutnya, fee yang diterima oleh kurator dan pengurus hanya berpatokan pada nilai aset atau harta. Kini imbalan jasa kurator merujuk pada nilai utang. Model perhitungan ini dikkhawatirkan akan memberatkan debitor. Alasannya, tak jarang dalam kasus PKPU, jumlah utang debitor lebih besar dari total aset.

“Menarik kalau dari jumlah utang, karena banyak jumlah utang debitor lebih besar daripada harta. Jadi kalau pakai persentase dengan jumlah utang takutnya fee besar sekali. Lebih relevan dengan jumlah aset karena itu sesuatu yang real,” ujarnya.

Kurator Vychung Chongson menilai kurangnya persentase yang diberikan kepada kurator atau pengurus tidak pas. Ia menduga pembuat beleid kurang memahami tugas dan tanggung jawab seorang kurator dalam proses pemberesan budel pailit. Besarnya imbalan seharusnya sebanding dengan resiko pekerjaan seorang kurator. Meskipun begitu, kurator tetap memperhatikan asas proporsionalitas. “Imbalan jasanya (besar) wajar,” kata Vychung.

Kurator Imran Nating dapat menerima beleid baru imbalan jasa kurator. Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) ini juga tak terlalu mempersoalkan perhitungan fee berdasarkan persentase nilai aset. Namun untuk fee pengurus, kata dia, konsep yang digunakan oleh Kemkumham terbalik dari masukan yang sudah diberikan oleh AKPI pada saat proses pembahasan.

AKPI, lanjutnya, memberikan masukan bahwa PKPU yang berujung pailit, fee pengurus diberikan berdasarkan jam kerja. Sementara jika PKPU berakhir perdamaian, fee pengurus yang diberikan bisa 8 persen atau lebih besar. Latar belakang dari masukan tersebut diungkapkan oleh Imran agar imbal jasa terhadap pengurus tidak memberatkan debitor. Pasalnya, pengurus akan mendapatkan imbal jasa double dari proses PKPU dan pailit. Jika keduanya didasarkan pada persen jumlah utang (PKPU) dan total nilai aset (pailit), dinilai terlalu besar.

Ia menduga penyusun beleid di Kemenkumham keliru menangkap maksud AKPI. Untuk fee pengurus dan akhirnya pailit berikan berdasarkan jam kerja, karena di kepailitan akan dapat persentase. Yang terjadi justru dibalik. PKPU yang berakhir perdamaian fee 6 persen dan pailit 8 persen. “Harusnya dibalik fee 8 persen atau lebih besar jika berakhir perdamaian, karena effort pengurus agar debitor dan kreditor damai itu besar,” jelas Imran.

Untuk itu, Imran berharap Kemenkumham dapat mengundang asosiasi kurator untuk menyepakati konsep fee sebelum adanya penetapan.
Tags:

Berita Terkait