KPK Pelajari Laporan Terkait PLTU Muara Jawa
Berita

KPK Pelajari Laporan Terkait PLTU Muara Jawa

Jika hasil telaah direktorat pengaduan masyarakat KPK menyatakan tak ada tindak pidana korupsi dalam laporan itu, akan dilimpahkan ke aparat penegak hukum lain untuk ditelusuri dugaan tindak pidana lain.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
KPK masih mempelajari laporan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan PLTU Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang diduga dilakukan PT Indo Ridlatama Power (IRP), anak perusahaan PT Indonesia Power yang merugikan keuangan negara Rp3,7 miliar.

"Laporan itu sedang ditelaah apakah ada unsur Tindak Pidana Korupsi (TPK) atau tidak, kalau memang ada TPK akan ditindaklanjuti," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Sabtu (3/9).

PT Indonesia Power adalah anak perusahaan dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang merupakan salah satu BUMN.Andi P Iskandar selaku kuasa hukum Bambang Waseso, Direktur PT Energi Bara Utama melaporkan dugaan korupsi itu pada 5 Oktober 2015.

Menurut Bambang, PT IRP melakukan pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan PLTU Muara Jawa seluas 46,3 hektar diduga dengan merekayasa surat-surat tanah dan jual-beli yang mencurigakan sehingga patut diduga terjadi tindak pidana korupsi.

"Kalau ternyata ditemukan TPK dengan nilai kerugian negara di atas Rp1 miliar serta melibatkan penyelenggara negara perkara itu bisa ditangani KPK, namun bisa juga dilimpahkan ke aparat penegak hukum lainnya," tambah Yuyuk.

Menurut Yuyuk, bila dari direktorat pengaduan masyarakat (dumas) KPK yang menelaah laporan tersebut menyatakan tidak ada dugaan tindak pidana korupsi maka laporan bisa dilimpahkan ke aparat penegak hukum lain untuk ditelusuri apakah ada dugaan pidana lain. (Baca Juga: Polisi Tangkap Pengusaha Batu Bara)

Dalam laporan itu, Bambang menyampaikan kecurigaan mengenai surat pernyataan melepaskan hak garapan atas tanah seluas 2,6 hektar dari total 46,3 hektar yang pada awalnya seolah-olah pemilik tanah bernama Nawir dijual kepada pihak swasta, Donny Juniarto pada 24 April 2011 dengan harga Rp78 juta.

Selanjutnya pada 22 Agustus 2011, Donny menjual lahan itu kepada PT IRP yang diwakili Bambang Pryambodo seharga Rp78 juta.

Pada 12 November 2013, oleh PT IRP yang diwakili Makmur Marzuki, lahan tersebut dijual kembali kepada Donny Juniarto seharga Rp78 juta. Satu bulan kemudian pada 24 Desember 2013, lahan itu dijual lagi kepada PT Ridlatama Bangun Mandiri yang diwakili oleh Benito Maulana seharga Rp78 juta. Lahan kembali perpindah tangan pada 30 April 2014 saat PT Ridlatama menjual kepada PT IRP yang diwakili Makmur Marzuki seharga Rp286 juta.

Sehingga,ada lonjakan harga dari Rp78 juta menjadi Rp286 juta dalam waktu tiga tahun dan kepemilikan lahan tetap di tangan PT IRP.Penjualan tanah seluas 2,6 hektar hanya salah satu contoh cara pembebasan tanah yang totalnya seluas 46,3 hektar untuk pembangunan PLTU yang diduga dilakukan dengan cara rekayasa.

Bambang mengklaim telah memiliki bahan lengkap pembelian lahan 46,3 hektar, di antaranya dari Nawir seluas 2,6 hektar, Abbas seluas 2,6 hektar, Muhammad Noor seluas 2 hektar dan 1,2 hektar. (Baca Juga: E-Procurement, Cara Pengadaan Bersih dari Korupsi)

Proses jual-beli itu terungkap setelah tanah milik PT EBU dipalsukan suratnya untuk pembangunan PLTU dengan keterlibatan Plh Lurah Teluk Dalam, Muara Jawa, Kutai Kertanagara.

Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara telah menetapkan kasus pemalsuan surat tanah itu hingga sudah masuk tahap kedua (P21) dengan lima tersangka yaitu Hardiansyah selaku Plh Lurah Teluk Dalam, Noordinsyah, petugas kantor kecamatan, Agus Salim, Winarto dan Junaidi selaku perantara penjualan tanah.
Tags:

Berita Terkait