Beda Pendapat Tiga Hakim Warnai Pengabulan Seluruh Permohonan Setya Novanto
Uji Materi UU Tipikor dan KUHP

Beda Pendapat Tiga Hakim Warnai Pengabulan Seluruh Permohonan Setya Novanto

Kubu Setya Novanto menilai perkara di Kejaksaan Agung harus dihentikan.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan kepada wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/2). Setya Novanto diperiksa terkait dugaan tindak pidana pemufakatan jahat perkara PT Freeport Indonesia.
Mantan Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan kepada wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/2). Setya Novanto diperiksa terkait dugaan tindak pidana pemufakatan jahat perkara PT Freeport Indonesia.
Usai ramainya kasus “papa minta saham” terkait perpanjangan kontrak PT. Freeport, Setya Novanto mengajuan permohonan uji materi pasal yang mengatur ketentuan pemufakatan jahat ke Mahkamah Konstitusi. 
Dalam perkara nomor 21/PUU-XIV/2016, Setya Novanto selaku pemohon, meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir atas frasa “pemufakatan jahat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 88 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).
Majelis Hakim MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan Setya Novanto, dan menyatakan frasa “pemufakatan jahat” dalam undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.”
Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan frasa “pemufakatan jahat” dalam undang-undang a quo tidak memenuhi syarat lex certa (jelas) sehingga membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi.  (Baca juga: Pemerintah Minta Permohonan Setya Novanto Ditolak)
Dalam persidangan, guna mendukung dalil permohonannya, dihadirkan Muhammad Said Karim selaku Ahli Pemohon yang menyatakan bahwa tindakan perekaman diam-diam merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Tindakan perekaman yang dilakukan terhadap Pemohon tersebut merupakan tindakan illegal, dan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses penyidikan maupun persidangan dalam pemeriksaan perkara.
Pemohon juga menghadirkan Pakar Hukum Pidana Khairul Huda dalam persidangan, yang menyatakan bahwa Pasal 88 KUHP tidak bisa memberikan makna dari frasa “permufakatan jahat” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 15 UU Tipikor. Ketidakjelasan makna ini dianggap telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi Setya Novanto dalam proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam pemeriksaan kasus “papa minta saham” yang menjeratnya. 
Dalam proses penyidikan kasus “papa minta saham”, selama ini Kejaksaan Agung mendasarkan pemeriksaan tersebut pada rekaman pembicaraan antara Setya Novanto selaku Pemohon, Muhammad Riza Chalid, dan Ma’roef Sjamsuddin (mantan direktur PT. Freeport Indonesia). Menurut Khairul Huda selaku Ahli Pemohon, Pasal 88 KUHP tidak menguraikan makna dari frasa “pemufakatan jahat” sehingga tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menafsirkan Pasal 15 UU Tipikor, dan hal ini justru memberikan ketidakpastian hukum.
Tags:

Berita Terkait