Sistem Perbankan Tercerai Berai, Revisi UU Perbankan Semakin Mendesak
Berita

Sistem Perbankan Tercerai Berai, Revisi UU Perbankan Semakin Mendesak

DPR baru akan membahas revisi UU Perbankan pada tahun 2017 karena banyaknya rancangan undang-undang yang mendesak untuk segera dibahas.

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pakar Hukum Pidana Yenti Ganarsih menilai revisi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang akan menjadi induk dari semua aturan perundangan di bidang perbankan sudah sangat mendesak. Hal ini disampaikannya saat diskusi "Forum Legislasi: RUU Perbankan" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (14/9).

"Dunia internasional akan memberlakukan kesepakatan keterbukaan rahasia perbankan, sehingga Indonesia perlu menyikapi kesepakatan ini," kata Yenti.

Menurut Yenti, Pemerintah dan DPR RI hendaknya segera merevisi UU Perbankan dan melakukan pembahasan soal keterbukaan rahasia perbankan ini secara clear, sehingga sistem perbankan nasional juga dapat diterapkan secara clear.

Pada kesempatan tersebut, Yenti menyoroti soal banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang menyimpan dananya di negara lain, karena tidak ingin diketahui.Menurut dia, perilaku WNI seperti ini patut dicurigai apakah uang yang disimpan di negara lain, misalnya Singapura, adalah benar-benar dana legal dari hasil bisnisnya atau dana ilegal yang berusaha disembunyikan atau untuk menghidari pajak.

"Diberlakukannya UU Amnesti Pajak, dengan aturan siapapun yang sudah mengikuti Amnesti Pajak, maka sudah tidak disentuh lagi, dikhawatirkan kebijakan ini justru akan melindungi pemilik dana ilegal," katanya.

Pakar hukum pidana dengan keahlian pencucian uang ini mengingatkan Pemerintah agar dalam menerapkan Amnesti Pajak juga tetap menelusuri asal-usul dana tersebut. Bila ada dana ilegal maka tetap diproses secara hukum. Menurut dia, Pemerintah hendaknya tidak hanya menargetkan peningkatan penerimaan negara tanpa melihat asal-usul sumber dana.

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta ini juga melihat sistem perbankan nasional saat ini semakin tercerai berai karena lembaga-lembaga terkait menggunakan landasan hukum undang-undang masing-masing. Misalnya, UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Bank Indonesia (BI), UU Pencucian Uang, UU Uang Republik Indonesia.

Yenti juga menyoroti, dalam pembuatan UU seharusnya dengan pertimbangan untuk kepentingan sebagian besar bangsa Indonesia dan bukan kepentingan sebagian kecil elite di Indonesia. (Baca Juga: Ikatan Bankir Indonesia Beri Sembilan Masukan untuk RUU Perbankan)

Soal keterbukaan rahasia perbankan, menurut Yenti, saat ini sudah sebanyak 37 negara sepakat melonggarkan informasi kerahasian perbankan. "Kenapa Indonesia masih bertahan dengan kerahasiaan perbankan. Ada apa?" katanya.

Menurut dia, untuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap bank, tidak harus dengan menyimpan rahasia perbankan. Untuk kepentingan yang lebih besar, kata Yenti, yakni untuk kepentingan negara, maka informasi rahasia seorang nasabah dapat dibuka.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI John G Plate mengatakan DPR baru akan membahas revisi UU Perbankan pada tahun 2017 karena banyaknya rancangan undang-undang yang mendesak untuk segera dibahas.

"DPR RI sudah membentuk Panja (panitia kerja) RUU Perbankan yang pelaksanaannya diserahkan ke Komisi XI, tapi pelaksanaannya terus tertunda karena adanya sejumlah RUU yang harus segera dibahas," kata John.

Menurut John, setelah dibentuk Panja RUU Perbankan ini pada akhir tahun 2015, sudah dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait serta sudah melakukan studi banding ke Jepang.

Dari studi banding tersebut, menurut dia, diketahui bahwa sistem perbankan di negara-negara lain ternyata beragam dan memiliki pola berbeda-beda. "Setelah mencari masukan dari banyak pihak termasuk studi banding ke Jepang, ternyata merevisi UU Perbankan itu sangat sulit," katanya.

John menjelaskan, banyak RUU yang mendesak untuk segera dibahas dan diselesaikan DPR. Menurut dia, pada saat Komisi XI akan membahas revisi UU Perbankan, tapi sudah dihadapkan pada pembahasan RUU APBN 2016. "Setelah RUU APBN 2016 selesai, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan APBN Perubahan," katanya.

Politisi Partai NasDem ini menambahkan, setelah APBN Perubahan 2016 selesai, Komisi XI dihadapkan pada tugas pembahasan RUU tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Setelah pembahasan RUU PPKSK selesai dan akan membahas RUU Perbankan, kata dia, tiba-tiba Komisi XI kembali dihadapkan pada RUU yang mendesak untuk dibahas, yakni RUU Amnesti Pajak untuk menyikapi kesepakatan keterbukaan informasi kerahasiaan perbankan pada 2018. "Karena itu, pembahasan RUU Perbankan terus tertunda-tunda," katanya.

Tags:

Berita Terkait