CSSUI Minta Periodeisasi Masa Jabatan Hakim Konstitusi Dihapus
Berita

CSSUI Minta Periodeisasi Masa Jabatan Hakim Konstitusi Dihapus

Majelis meminta Pemohon mengelaborasi permohonan ini dengan persoalan etika hakim konstitusi yang mengadili perkara ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Satu lagi aturan periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi dan masa jabatan pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) digugat. Kini giliran pengurus Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) yang mempersoalkannya lewat pengujian Pasal Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi (MK) seperti diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.

Aturan Pasal 22 UU MK ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena UU No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman dan UUD 1945 tidak pernah mengamanatkan adanya periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi.

“Aturan ini sangat merugikan Pemohon dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat terciptanya hakim konstitusi berintegritas, negarawan yang diamanatkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945,” ujar salah satu pengurus CSSUI, Dian Puji N Simatupang di sidang perdana yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang Mahkamah, Kamis (15/9).

Pasal 22 UU MK menyebutkan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.” Sedangkan Pasal 4 ayat (3) UU MK menyebutkan Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.

Dian menilai aturan ini dianggap diskriminatif karena kedudukan hakim di lembaga peradilan manapun seharusnya tidak mengenal masa jabatan dan periodeisasi jabatan. Dia membandingkan dengan masa jabatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009  tentang Mahkamah Agung (MA). “Dalam UU MA, masa jabatan hakim agung diberhentikan dengan hormat ketika memasuki usia pensiun (70 tahun),” kata dia.

Menurut pemohon, munculnya Pasal 22 UU MK tak terlepas dari kepentingan politik karena UU MK sendiri merupakan produk politik hukum negara. Norma tersebut mengandung pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Aturan ini setidaknya potensial membatasi MK dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

“Pembatasan jabatan hakim konstitusi bertentangan dengan Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Karena itu, Pemohon berharap Pasal 22 UU MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pinta Direktur Litbang CSSUI ini.

Pengurus CSSUI lain, Tjip Ismail menambahkan permohonan ini memasukkan pengujian Pasal 4 ayat (3) UU MK yang juga membatasi masa jabatan ketua dan wakil ketua MK yang dibatasi per 3 tahun. “Ini juga berkaitan dengan pembatasan masa jabatan hakim konstitusi selaku ketua dan wakil ketua MK,” tambahnya.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo meminta agar Pemohon bisa mengelaborasi permohonan dengan persoalan etika hakim konstitusi yang mengadili perkara ini. “Kami berharap bisa diberi ilustrasi agar kita tidak dihadapkan pada pilihan sulit terkait etika karena kan menyangkut jabatan hakim MK. Makanya, saya minta pandangan sisi etika, boleh atau tidak kita mengadili diri sendiri meski sisi yuridis dibolehkan,” katanya.

Sebelumnya, aturan yang sama juga tengah dimohonkan pengujian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi yang memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1-4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait periodeisasi masa jabatan hakim MK dan pimpinan MK. Khusus Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK, Para Pemohon meminta ada persamaan masa jabatan hakim konstitusi dan pimpinan MK dengan masa jabatan hakim agung dan pimpinan MA.
Tags:

Berita Terkait