Institusi Negara Harus Hormati Putusan Pengadilan
Berita

Institusi Negara Harus Hormati Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan adalah hukum yang mengikat. Bisa dibawa ke mekanisme internasional.

Oleh:
MR25/MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban memperjuangkan hak. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban memperjuangkan hak. Ilustrator: HGW
Semua institusi negara atau pemerintahan seharusnya mematuhi putusan pengadilan. Jika dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap pengadilan memerintahkan institusi negara membayar ganti rugi kepada warga negara, putusan itu seharusnya dijalankan. Ketiadaan anggaran tidak kuat dijadikan alasan untuk menunda-nunda apalagi menolak membayar ganti rugi.

Pandangan itu disampaikan dua akademisi hukum Sumatera Barat ketika ditanya pandangan mereka atas putusan pengadilan yang memenangkan gugatan ganti rugi korban kekerasan terhadap kepolisian. Iwan Mulyadi, korban penembakan oknum polisi Polsek Kinali Pasaman Barat memenangkan gugatan ganti rugi hingga tingkat peninjauan kembali. Alamsyahfudin memenangkan gugatan terhadap Polri atas kematian anaknya di tangan oknum polisi Polsek Bukittinggi. Kedua kasus itu terjadi di Sumatera Barat.

Khairul Fahmi, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang, mengatakan jika negara tak menjalankan putusan pengadilan, itu akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. Peneliti Pusat Studi Konstitusi  FH Unand itu meminta Polri –sebagai tergugat—mematuhi putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kepatuhan institusi negara seperti Polri bisa dijadikan contoh. Kuncinya ada pada iat baik institusi Polri membayar ganti rugi yang diperintahkan pengadilan.

“Sekarang kan masalahnya niat baik. Apakah pimpinan Polri punya niat baik untuk menganggarkan itu dalam anggaran Polri yang harus dibayar oleh negara kepada korban. Saya melihat iktikat baik itu saja yang belum,” ungkapnya ketika dihubungi hukumonline, Kamis (15/9) lalu.

Sahnan Zahuri Siregar, staf pengajar Universitas Ekasakti Padang, berpandangan senada. Ia mengatakan putusan pengadilan adalah hukum yang mengikat bagi siapapun yang diperintahkan. Termasuk jika perintah pengadilan adalah membayar ganti rugi. “Putusan pengadilan sama dengan hukum,” ujarnya.

Ia sependapat jika institusi negara tak patuhi putusan pengadilan sama saja memberikan contoh buruk kepada masyarakat. Apalagi hubungan hukum antara warga dengan negara cenderung tak seimbang. Jika warga masyarakat yang kalah, negara bisa menyita aset-aset warga. Sebaliknya, jika warga yang menang, sulit bagi warga untuk meminta aset negara untuk disita sebagai jaminan ganti rugi dibayarkan.

Sahnan mengingatkan para korban sudah menempuh mekanisme hukum yang disediakan negara, mengeluarkan biaya dan menghabiskan waktu untuk memperjuangkan hak mereka. Karena itu, jika warga menang, sudah selayaknya institusi negara menghormati putusan pengadilan itu. Keengganan membayar langsung putusan pengadilan terkait politik anggaran. Bisa jadi, tak ada mata anggaran pembayaran ganti rugi atas gugatan warga dalam anggaran Polri.

Khairul Fahmi berpendapat sangat lucu kalau alasan tidak membayar karena ketiadaan anggaran. “Untuk menganalogikan, membentuk undang-undang saja tersedia ruang untuk membuat undang-undang atas putusan pengadilan sekalipun tidak masuk dalam Prolegnas,” ujarnya.

Korban atau ahli warisnya memang bisa saja menempuh constitutional complaint jika kemenangan mereka di pengadilan tak bisa dieksekusi. Masalahnya, sistem pengujian di Mahkamah Konstitusi belum memungkinkan untuk mengadili perkara constitutional complaint.

Selain itu, Khairul Fahmi menyebutkan kasus-kasus seperti yang dialami Iwan Mulyadi dan Alamsyahfudin sudah layak dibawa ke mekanisme internasional. Mekanisme nasional sudah dilalui para korban tetapi hak mereka belum juga dipenuhi.

“Saya kira ini sesungguhnya sudah bisa dibawa ke mekanisme internasional, karena prosedur dan mekanisme nasional sudah habis semuannya tetap saja hak-hak Iwan ini tidak dikabulkan. Bisa saja kawan-kawan yang mendampingi Iwan melaporkannya di PBB,” ungkapnya.
Tags:

Berita Terkait