Fisiognomi Lombrosso di Sidang Kopi Bersianida
Pembunuhan Berencana:

Fisiognomi Lombrosso di Sidang Kopi Bersianida

Akhir dari ilmu kriminologi adalah menentukan motif bukan menentukan bersalah tidaknya seseorang.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Seorang ahli memberikan keterangan di sidang atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso di PN Jakarta Pusat, Senin 919/9). Foto: RES
Seorang ahli memberikan keterangan di sidang atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso di PN Jakarta Pusat, Senin 919/9). Foto: RES
Sudah 22 kali persidangan kasus kematian Wayan Mirna Salihin digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Persidangan ini bagaikan magnet yang menyedot perhatian publik. Publik dibuat penasaran lantaran proses pembuktian membutuhkan ahli-ahli yang multidisiplin ilmu, mulai dari kedokteran forensik, ilmu racun (toksikologi), kriminolog, ahli patologi, ahli kimia, psikolog, psikiater, hingga ahli digital forensik.

Terbaru, tim kuasa hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso menghadirkan ahli kriminologi dari Universitas Indonesia (UI) Eva Ahcjani Zulfa. Eva menjelaskan sekelumit mengenai kriminologi sebagai ilmu dan penerapannya dalam sebuah kasus kejahatan. Dalam catatan Hukumonline Eva adalah staf pengajar Fakultas Hukum dan menulis buku-buku tentang hukum pidana.

Dalam keterangannya sebagai ahli, Eva mengungkapkan teori fisiognomy yakni ilmu firasat wajah atau ilmu membaca karakter seseorang lewat wajah. Teori ini dicetuskan Cesare Lombroso, warga Italia yang hidup pada abad ke-19. Nama Lombroso sangat dikenal dalam diskusi-diskusi tentang kejahatan dan tipikal penjahat. Lombroso, yang juga mendirikan Sekolah Kriminolog Italia mengatakan bahwa untuk mengetahui seseorang memiliki perilaku jahat dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.

Untuk mencari hubungan antara fisik dan perilaku kejahatan, pada zamannya Lombroso melakukan pengujian terhadap penjahat yang ada di penjara. Atas pengujian tersebut, Lombroso menemukan ciri-ciri fisik yang berpotensi melakukan tindakan criminal. Menurut Lombroso, lanjut Eva, para penjahat adalah mahkluk-mahkluk yang terpilih, yang mengalami kemunduran dari manusia modern menjadi primitif. “Lombroso dikenal dalam ilmu kriminologi, tetapi bukan karena teorinya melainkan karena metodenya,” kata Eva.

Lombroso membuat 13 ciri fisik seseorang yang cenderung melakukan kejahatan. Diantara ciri fisik tersebut adalah muka asimetris, bibir tebal, dan hidung pesek. Bakat jahat yang dimiliki oleh seseorang menurut Lombroso, tidak dapat dipindahkan atau dipengaruhi. Bakat jahat diperoleh dari kelahiran yaitu diwariskan.

Namun seiring berjalannya waktu, teori fisiognomi Lambroso mendapat kritik yakni meski kejahatan diperoleh melalui genetika, namun perkembangan kejahatan dipengaruhi oleh lingkungan. Atas kritik tersebut, lanjut Eva, Lambroso merevisi teorinya dan membagi tiga jenis penjahat.

Pertama, born criminal yaitu bakat jahat yang ada sejak lahir terdapat pada sepertiga dari jumlah seluruh penjahat. Kedua, insane criminal, yakni bukanlah penjahat sejak lahir, mereka lahir disebabkan oleh penyakit jiwa dan perubahan di dalam otak mereka yang terganggu. Ketigacriminaloid yakni golongan terbesar penjahat yang terdiri dai orang-orang yang tidak memiliki ciri fisik yang khas, tidak memiliki sakit jiwa yang nampak, akan tetapi susunan mental dan emosional sedemikian rupa sehingga dalam keadaan tertentu mereka dapat melakukan perbuatan yang sangat kejam dan jahat.

Teori ini, lanjut Eva, tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk menentukan seseorang penjahat atau bukan. Apalagi teori ini sudah sangat tua dengan metode perenungan dan sudah jarang dipakai, yang menjadi bagian dari antropolgi fisik. Dalam hal ini, Eva lebih sepakat menggunakan sosiologi kriminologi untuk mengkaji beberapa kasus kejahatan. Eva sepakat jika perbuatan kejahatan juga dipengaruhi oleh lingkungan dan menganalisis data makro, bukan mikro. Sementara hasil akhir dari ilmu kriminologi adalah menemukan motif, bukan menentukan seorang penjahat.

Kendati demikian, fisiognomi sah-sah saja dipakai dalam kasus sebuah kejahatan. Hanya saja, dalam pendekatannya yang perlu diperjelas adalah membutuhkan psikolog. “Tidak ada larangan untuk menggunakan teori gesture, sah saja fisiognomi dipakai untuk mendeteksi penjahat,” jelas Eva.

Sebagai multidisiplin, kriminolog bisa digunakan di dalam berbagai pendekatan. Eva menyatakan bahwa untuk mengetahui perilaku dan mencari motif kejahatan, harus dilakukan pendekatan terhadap banyak orang, bukan satu saja. Jika hanya dilakukan terhadap kasus saja, itu masuk ke ranah psikologi.

Fisiognomi juga mengenal teori charm-chair atau yang disebut dengan teori kursi sandar lengan. Eva mengartikan teori ini seperti orang duduk di kursi goyang dan merenung. Teori ini tidak membutuhkan alat dan metode untuk menganalisis sebuah kasus.

Eva tak mambantah teori ini bisa dipakai untuk menganalisis sebuah kejahatan, atau menganalisis potensi seseorang untuk melakukan kejahatan. Namun lagi-lagi ia menegaskan bahwa fisiognomi tidak bisa menjustifikasi seseorang adalah penjahat. Apalagi, jelas Eva, penggunaan statistik dalam analisis ilmu kriminologi sangat kental. Statistik menjadi penting untuk validitas, bukan seseuatu yang sederhana yang didasarkan pada asumsi. Menganalisis beberapa kasus menjadi penting untuk menemukan suatu gejala.

“Validitas teori yang dibangun, dengan metode pembangunnya dan data statistic menjadi pembanding, apakah ada kasus lain sebagai pembanding dalam konteks situasi yang sama,” tutur Eva.

Selain itu, Eva menjelaskan bahwa ilmu kriminologi hanya ilmu yang membantu dalam sebuah peristiwa kejahatan. Setiap pendekatan yang dipakai akan mengeluarkan hasil yang berbeda juga. Untuk kriminolog, hasil akhirnya adalah menemukan motif dan merumuskan hal-hal pencegahan. Jika dibanding dengan saat ini, fisiognomi serupa dengan dunia ramalan atau horoscope.

Antropologi Fisik
Antrolopologi fisik merupakan ilmu bantu yang dipakai dalam ilmu kriminologi. Teori ini yang dipakai  kriminolog UI Tb Ronny Nitibaskara pada sidang sebelumnya. Ditemui di PN Jakarta Pusat, Ronny sepakat jika teori Lambroso adalah teori usang yang sudah tidak dipakai lagi dalam ilmu kriminolog. “Teori Lombrosso sudah usang, tidak dipakai lagi,” kata Ronny.

Dalam keterangannya pada persidangan, Ronny mengaku menggunakan pendekatan antrolopogi fisik. Salah satunya adalah melalui metode membaca wajah. Metode ini dikenal dengan fisiognomi modern di California Amerika Serikat, yang ditemukan oleh seorang hakim terkenal berama Edward Vincent Jones pada abad ke-20 yang mengaitkan cirri wajah dan perilaku seseorang.

Dalam fisiognomi modern ini, lanjut Ronny, Edward melakukan penelitian watak terhadap ratusan orang di California termasuk politisi dan Presiden. Hasil penelitian tersebut didapati kecocokkan dan keakuratannya mencapai 92 persen. Teori fisiognomi modern inilah yang dipakai Ronny untuk menerangkan watak Jessica dari bentuk wajah

“Antropologi membahas dari sisi gestur dan psikologi itu fisiognomi. Jadi bersama-sama ilmunya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait