Apa Rasionalitas Kebijakan Pengampunan Pajak? Simak Keterangan Pemerintah-DPR
Utama

Apa Rasionalitas Kebijakan Pengampunan Pajak? Simak Keterangan Pemerintah-DPR

Banyak pertanyaan yang diajukan hakim. Pemerintah berjanji memberikan keterangan tambahan secara tertulis.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dan DPR berikan penjelasan resmi tentang rasionalitas kebijakan pengampunan pajak. Foto: RES
Pemerintah dan DPR berikan penjelasan resmi tentang rasionalitas kebijakan pengampunan pajak. Foto: RES
Sidang pengujian UU No. 11 Tahun 2016  tentang Pengampunan Pajak berlanjut ke sidang pleno. Kini, giliran pembentuk Undang-Undang (UU) yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah memberi penjelasan atau tanggapan atas empat permohonan pengujian UU Pengampunan Pajak yang dipersoalkan beberapa kelompok masyarakat di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR membantah semua dalil Para Pemohon seperti tertuang dalam permohonannya. Keduanya, sepakat sejumlah pasal UU Pengampunan Pajak dinilai tidak bertentangan konstitusi sekaligus menganggap Para Pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak mengalami kerugian hak konstitusional sesuai yang dipersyaratkan UU MK.

“Tujuan UU Pengampunan Pajak demi meningkatkan pertumbuhan/pergerakan ekonomi demi keadilan dan kesejahteraan sosial. Kebijakan Pengampunan Pajak ini tidak merugikan siapapun, apalagi masyarakat miskin, sehingga UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan konstitusi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menyampaikan pandangan Pemerintah dalam pengujian UU Pengampunan Pajak di ruang sidang MK, Selasa (20/9).

UU Pengampunan Pajak ini dipersoalkan kelompok empat pemohon yang berbeda. Pemohon I yakni Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani; Pemohon II yakni Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK); Pemohon III yakni Leni Indrawati Dkk; dan Pemohon IV yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), DPP Partai Buruh.

Keempat Pemohon itu menguji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3; Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23 yang meminta untuk dibatalkan atau ditafsirkan bersyarat. Inti keempat permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif terutama kalangan buruh sebagai pembayar pajak yang taat, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang  dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

Sri Mulyani mengklaim UU Pengampunan Pajak telah memenuhi prinsip konstitusionalitas. Misalnya, UU Pengampunan Pajak ini tidak menghapus atau mengampuni tindak pidana lain selain pidana perpajakan. Aparat penegak hukum tetap dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan selama tidak bersumber dari data yang disampaikan Wajib Pajak (WP) dalam Surat Pernyataan Pengampunan.

“UU Pengampunan Pajak ini tidak bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi karena kerahasiaan informasi data WP yang mengikuti pengampunan pajak bentuk jaminan kepastian hukum,” lanjutnya.

Dia juga menilai UU Pengampunan Pajak ini tidak bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum karena tidak memberi perlakuan ekslusif bagi pihak yang tidak taat pajak. Sebab, penghentian, penangguhan pemeriksaan, pemeriksaan permulaan, dan penyidikan pidana pajak sebagai insentif lazim diberikan ketika WP secara sukarela melaporkan seluruh hartanya di dalam dan di luar negeri serta membayar pajak terhutang dengan benar.

“Pengampunan pajak ini hak bukan kewajiban yang ditujukan seluruh WP secara adil. Sebab, manfaat kebijakan ini lebih luas yakni menambah jumlah subjek dan objek pajak baru. Efeknya, terciptanya lapangan kerja baru dan menurunkan tingkat suku bunga yang berakibat meningkatkan pergerakan ekonomi dan daya beli masyarakat,” dalihnya.

“Saya berkeyakinan UU Pengampunan Pajak telah sesuai dengan kewenangan konstitusional yang dimiliki Pemerintah,” lanjutnya.

Menurutnya, kebijakan pengampunan pajak ini lazim diterapkan di berbagai negara (37 negara) termasuk Indonesia guna meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dan menggali potensi penerimaan negara. Lagipula, kata dia, bukan kali ini Indonesia menerapkan kebijakan ini. Sebelumnya pada 1964, 1984, dan 2008, Indonesia pernah menerapkan kebijakan pengampunan pajak ini yang diikuti reformasi bidang perpajakan.

“Hingga 20 September 2016, uang tebusan mencapai Rp28,8 triliun dengan Rp1,013 triliun harta yang diungkap yang didominasi sebagian besar WP besar sebagai basis data perpajakan baru. Jumlah ini akan terus bertambah hingga 31 Maret 2017,” ungkapnya.

“Ini bukan bentuk pengampunan bagi para pengemplang pajak, lebih agar WP menarik hartanya di dalam dan di luar negeri dan belum dikenakan pajak, seperti WP Indonesia yang menempatkan dananya di Singapura mencapai 2.500 trilliun, dan negara lain demi menggerakkan ekonomi nasional.”

DPR juga memandang kebijakan pengampunan pajak semata-mata untuk menarik harta/dana WP Indonesia terutama yang disimpan di luar negeri untuk meningkatkan penerimaan negara sektor pajak demi pembiayaan pembangunan nasional. Sebab, faktanya meski pajak memiliki sifat memaksa, masih banyak masyarakat yang tidak taat pajak yang berakibat rendahnya penerimaan pajak dan sistem administrasi perpajakan.   

“Kebijakan pengampunan pajak ini terobosan guna mendorong pengalihan harta ke wilayah Indonesia sekaligus menjamin perlindungan warga negara yang bersedia mengungkap hartanya,” kata Ketua Komisi XI Melchias Marcus Mekeng yang mewakili pandangan DPR.

DPR menilai pelaksanaan UU Pengampunan Pajak sesuai asas keadilan yang menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat. Karena itu, UU Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, tidak ada kerugian konstitusional yang dialami Para Pemohon. “Karenanya, Permohonan Para Pemohon seharusnya ditolak untuk seluruhnya,” harap Politisi Partai Golkar ini.

Mempertanyakan
Atas keterangan ini, beberapa Hakim Konstitusi yakni Suhartoyo, I Gede Palguna, Arief Hidayat mempertanyakan alasan UU Pengampunan Pajak ini berlaku surut (retroaktif). Faktanya implementasi kebijakan ini menggunakan data Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahun 2015 sebelum UU Pengampunan Pajak berlaku.

”UU Pengampunan Pajak ini ada nuansa retroakatif dan pajak berganda, seperti kalangan dosen kalau mengisi SPT Tahunan selalu nihil karena tidak mencantumkan seluruh harta/aset dalam SPT itu. Tetapi, dengan UU Pengampunan Pajak ini seolah diwajibkan melampirkan data harta kekayaan yang sebelumnya sudah dikenakan pajak, seperti saat beli rumah atau mobil?” kata Arief mempertanyakan.

Dia mengingatkan putusan pengujian UU Sumber Daya Air (SDA) yang dibatalkan MK lantaran aturan pelaksanaan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. “Awalnya, pengujian UU SDA diputus bersyarat. Tetapi, lantaran implementasinya tidak memenuhi syarat, akhirnya pengujian UU SDA yang kedua dibatalkan MK karena peraturan pelaksanaannya tidak terpenuhi. Apa UU Pengampunan Pajak ini sudah cukup jelas peraturan pelaksanaannya?”

Di satu sisi Arief memahami kebijakan pengampunan pajak ditujukan bagi WP skala besar yang tidak taat pajak dan hartanya ‘diparkir’ di luar negeri. Di sisi lain, bagi WP dalam skala kecil, seperti pegawai, buruh, yang memiliki usaha kecil-menengah, UU Pengampunan Pajak dianggap sebagai ‘ancaman’. Bahkan, UU Pengampunan Pajak bisa ‘memiskinkan’ dalam implementasinya. “Ini mohon penjelasan (tertulis) tambahan yang akurat dan tuntas agar masyarakat semua tahu,” pintanya.

Pemerintah berjanji memberikan jawaban secara tertulis sesuai beberapa pertanyaan yang diajukan Majelis hakim MK sebagai keterangan tambahan. “Nanti kita akan memberi tanggapan secara tertulis dalam persidangan berikutnya,” kata Sri Mulyani.
Tags:

Berita Terkait